Kalangan Akademisi Menolak Program "Full Day School"

id FDS

Kalangan Akademisi Menolak Program "Full Day School"

Dr Merry Kolimon

Kalangan akademisi di Kota Kupang menolak program Kementerian Pendidikan terkait kebijakan "Full Day School" yang saat ini tengah menanti penandatanganan Perpres dari Presiden Joko Widodo.
Kupang (Antara NTT) - Kalangan akademisi di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur menolak program Kementerian Pendidikan terkait kebijakan "Full Day School" yang saat ini tengah menanti penandatanganan Perpres dari Presiden Joko Widodo.

"Secara substantif ide dasar Full Day School itu sangat bias kehidupan kota. Padahal, untuk sebagian besar daerah di Indonesia, seperti NTT program ini sulit untuk dilaksanakan," kata Direktur Eksekutif Institute of Resource Governance and Social Change (Institut Tata Kelola Sumber Daya dan Perubahan Sosial)  Dr Dominggus Elcid Li di Kupang, Rabu.

Seharusnya, kata dia, pemerintah mengambil momentum tersebut untuk mengevaluasi paradigma, strategi dan kondisi pendidikan di berbagai daerah di Indonesia dengan memperhatikan elemen-elemen ke-Indonesiaan, dan bukan hanya terjebak dalam polemik FDS tetapi menjadi titik pijak.

Ia mengatakan dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah akademisi dari Forum Academia NTT di Kupang, Selasa (29/8), ada beberapa hal yang telah disepakati bersama, di antaranya ide lima hari sekolah, dan bersekolah penuh selama lima hari tidak mungkin dilaksanakan di berbagai daerah di NTT.

"Masih merupakan hal biasa jika anak jalan berjam-jam sampai tiba di sekolah dan pulang ke rumah karena jarak dan akses jalan yang sulit bagi mereka," ujarnya. 

"Berdasarkan prinsip "hal yang terbaik untuk anak" maka kami meminta agar Menteri Pendidikan melakukan penelitian ulang sebelum melahirkan sebuah kebijakan, agar mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah," kata Elcid Li.

Ia juga meminta kepada Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy mendata jumlah kekurangan guru di Indonesia, khususnya di NTT. Kondisi defisit guru ini merupakan persoalan serius dan harus dijawab dengan segera.

Sementara itu, Dr Merry Kolimon mengatakan pemerintah seharusnya memperhatikan kesanggupan, dan kesejahteraan guru sebelum mengeluarkan kebijakan semacam ini untuk daerah-daerah di Indonesia yang tertinggal.

"Jika membayar gaji guru saja pemerintah daerah kurang dana, dari mana dana untuk membiayai makan siang anak? Kesejahteraan guru perlu diperhatikan secara khusus, jika tidak secara sadar pemerintah sedang melakukan praktek kerja paksa (forced labor) untuk para guru," tambah Ketua Sinode GMIT NTT itu.

Menurut dia, Menteri Pendidikan perlu mengkaji secara menyeluruh skema rekrutmen guru, maupun pendidikan guru. 

"Tanpa mempehatikan kedua faktor ini, pendidikan formal hanya mencabut anak-anak dari akarnya dan masuk pada pendidikan modern dengan kualitas seadanya, yang artinya penjajahan sedang dilanjutkan ulang dengan metode yang berbeda," katanya.

Kolimon juga meminta agar pemerintah pusat memperhatikan semua sekolah swasta, dan tidak hanya memperhatikan sekolah tertentu saja.

"Pemerintah seharusnya mendukung sekolah-sekolah swasta, bukannya mematikan dengan cara menarik guru-guru pemerintah, maupun menarik dukungan pendanaan," tuturnya.

Sebab, menurut dia, di NTT, sekolah-sekolah swasta itulah yang menjadi tumpuan satu-satunya, karena sekolah-sekolah Inpres (Instruksi Presiden) yang dibangun oleh Presiden Soeharto di era booming minyak jumlahnya pun terbatas.

"Di tempat-tempat yang tersulit di NTT biasanya hanya sekolah swasta saja yang ada, dan tidak ada sekolah negeri," demikian Merry Kolimon.