Timor Barat Desak Tinjau Kembali Batas Maritim

id Maritim

Timor Barat Desak Tinjau Kembali Batas Maritim

Ferdi Tanoni

Rakyat Timor Barat Nusa Tenggara Timur mendesak Jakarta dan Canberra untuk merundingkan kembali batas maritim antara kedua negara di Laut Timor secara permanen sebagaimana dilakukan oleh Timor Leste dengan Australia saat ini.
Kupang (Antara NTT) - Rakyat Timor Barat Nusa Tenggara Timur mendesak Jakarta dan Canberra untuk merundingkan kembali batas maritim antara kedua negara di Laut Timor secara permanen sebagaimana dilakukan oleh Timor Leste dengan Australia saat ini.

"Timor Leste, negara yang baru merdeka saja sudah berhasil menyelesaikan batas maritimnya dengan Australia, kenapa Indonesia sulit untuk merundingkan kembali batas maritimnya dengan Australia. Ada apa sebenarnya," kata pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni dalam nada tanya di Kupang, Senin.

Media-media internasional memberitakan Australia dan Timor Leste berhasil menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung lama dan terus-menerus di antara kedua negara mengenai batas-batas maritim di Laut Timor. Kesepakatan ini digambarkan sebagai hari bersejarah dalam hubungan antara kedua negara.

Pengadilan Permanen Arbitrase di Den Haag pada Sabtu (2/9/2017) mengumumkan bahwa para pihak telah berhasil mencapai kesepakatan pada hari Rabu (30/8/2017) mengenai wilayah yang disengketakan tersebut, yang berisi cadangan minyak dan gas besar senilai sekitar 40 miliar dolar AS.

Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop memuji terobosan tersebut sebagai "hari bersejarah dalam hubungan antara Timor Leste dan Australia".

"Kesepakatan ini, yang mendukung kepentingan nasional kedua negara kita, semakin memperkuat hubungan jangka panjang dan mendalam antara Pemerintah Australia Timor Leste dan rakyat kedua negara," kata Menlu Julie Bishop.

Sudah hampir 18 tahun lamanya, Ketua Peduli Timor Barat itu terus menyuarakan pembagian batas wilayah maritim yang permanen antara Indonesia-Australia-Timor Leste setelah Timor Timur menyatakan merdeka dari Indonesia pada Agustus 1999.

"Sebagai bagian dari warga Timor Barat, NTT, saya sudah berjuang keras dan meminta Jakarta-Canberra untuk merundingkan kembali batas maritim kedua negara dengan mengacu pada ketentuan hukum internasional yang menggunakan garis tengah (median line)," katanya.

"Sekarang, kita minta lagi untuk dirundingkan kembali, karena Timor Leste-Australia sudah mencapai kesepakatan tentang batas maritim di Laut Timor yang permanen antara kedua negara. Sebagai bangsa yang besar, sebenarnya kita malu menghadapi situasi ini, seolah-olah kita tak harganya di mata Australia," tuturnya.

Tanoni yang juga mantan agen Imigrasi Australia itu mengatakan pembagian batas maritim antara kedua negara (RI-Australia) dengan menggunakan hukum internasional (median line), juga mengacu pada Buku Putih yang direkomendasikan oleh Departemen Pertahanan Indonesia.

"Australia sudah banyak mencurangi kita (Indonesia), namun kita seakan tak bergeming menghadapi mereka dalam diplomasi internasional," katanya dan menguraikan sejumlah kecurangan Australia antara lain penetapan Zona Perikanan menjadi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Australia hingga mendekati Pulau Rote, NTT.

Tanoni mengatakan wilayah caplokan tersebut kemudian diklaim sebagai bagian dari teritori Negeri Kanguru, serta mengklaim Gugusan Pulau Pasir sebagai Cagar Alam Nasional Australia, sehingga dengan sewenang-wenang memberangus aktivitas nelayan tradisional Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di kawasan yang kaya minyak dan gas bumi itu.

Ia mengatakan tindakan yang dilakukan Australia dengan memberangus aktivitas para nelayan tradisional Indonesia itu, sebenarnya salah alamat dan tidak diperbolehkan, karena Perjanjian RI-Australia tahun 1997 sampai sejauh ini belum diratifikasi oleh kedua negara.

Atas dasar itu, Tanoni mendesak parlemen di Senayan serta pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk merundingkan kembali batas wilayah perairan kedua negara secara permanen di Laut Timor, untuk mencegah tindakan kekerasan yang dilakukan Australia terhadap nelayan tradisional Indonesia.

"Namun, upaya tersebut semata-mata untuk menjaga harga diri dan martabat kita sebagai bangsa yang besar dan berdaulat di mata para bangsa di dunia ini," demikian Ferdi Tanoni.