Kasus Medah Kemunduran Bagi Golkar

id Medah

Kasus Medah Kemunduran Bagi Golkar

Ibrahim Agustinus Medah

"Semula saya kira Ibrahim hanya melepaskan jabatan sebagai ketua, tetapi keanggotaannya tetap, ternyata pindah partai politik, tentu sangat revolusioner," kata Acry Deodatus.
Kupang (Antara NTT) - Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Cabang Nusa Tenggara Timur Dr Acry Deodatus MA berpendapat mundurnya Ketua DPD Partai Golkar NTT Ibrahim Agustinus Medah merupakan kemunduran bagi partai berlambang pohon beringin itu.

"Semula saya kira Ibrahim Medah hanya melepaskan jabatan sebagai ketua, tetapi keanggotaannya tetap, ternyata pindah partai politik, tentu sangat revolusioner. Ini kemunduran luar biasa bagi Partai Golkar," kata Acry Deodatus di Kupang, Senin.

Acry yang juga sesepuh Partai Golkar NTT mengemukakan hal itu, ketika dimintai pandangan seputar mundurnya Ibrahim Agustinus Medah dari Ketua DPD Partai Golkar NTT dan hengkang ke Partai Hanura.

Ibrahim Medah mengundurkan diri karena kecewa dengan Partai Golkar yang tidak menetapkan mantan Bupati Kupang dua periode dan Ketua DPRD NTT itu sebagai Calon Gubernur NTT dalam Pilgub 2018.

Menurut Acry Deodatus, seseorang yang berhenti dari organisasi apa saja atas kehendak sendiri dengan pertimbangan atau alasan tertentu dapat dibenarkan karena kalau dipertahankan terus maka yang terjadi justru kontraproduktif.

Hanya saja, bagi Acry Deodatus, keputusan Medah untuk mengundurkan diri dari Golkar tentu sangat revolusioner dan sebuah kemunduran yang luar biasa bagi Partai Golkar karena seorang kader dan tokoh partai dengan mudah keluar dan pindah partai.

"Kalau soal etika, biar masyarakat yang akan menilai. Kalau dinilai positif maka karier politik akan menanjak. Sebaliknya kalau penilaian masyarakat itu negatif maka sesungguhnya sudah berakhir karier politik seseorang," katanya.

Dia menambahkan, pengunduran diri Medah tentu memiliki dampak bagi Partai Golkar, terutama dalam menghadapi pemilihan bupati dan wakil bupati di 10 kabupaten dan Pilgub 2018.

"Ini kan ibarat nakhoda meninggalkan kapal saat cuaca yang ekstrim untuk menyelamatkan diri, maka awak yang tinggal dan penumpang harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan kapal dan isinya ke tempat tujuan," katanya.

Artinya, DPP Partai Golkar jangan menilai kasus Medah ini sebagai sebuah hal yang sepele, tetapi Partai Golkar harus bekerja ekstra jika ingin memenangkan pilkada dan Pilgub NTT, kata Deodatus.

Sewmentara akademikus dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr. Ahmad Atang, MSi yang menilai wajar jika Ketua DPD Partai Golkar NTT Ibrahim Agustinus Medah mengundurkan diri dari jabatan karena kecewa dengan elite Golkar di DPP.

"Bagi saya itu bukan hal yang aneh karena kasus lompat partai merupakan hal biasa dalam demokrasi. Sebagai kader yang sudah malang melintang di politik bersama Partai Golkar adalah wajar jika Medah kecewa dengan elit Golkar di DPP," katanya.

Menurut Ahamad Atang, mekanisme pengambilan keputusan yang mementalkan Ibrahim Medah merupakan bentuk penzaliman terhadap mantan Bupati Kupang dua periode itu.

Sungguhpun begitu, ini merupakan antiklimaks di Golkar akibat konflik internal yang masih menyisakan rivalitas terselubung dan kiblat politik daerah terhadap DPP yang masih terbelah, kata Atang yang juga staf pengajar ilmu pilitik pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Nusa Cendana Kupang itu. 

Tidak menjamin
Sementara itu, DPD Partai Hanura NTT tidak memberikan jaminan untuk mengusung Ibrahim Agustinus Medah yang telah mememilih bergabung ke partai besutan Jenderal (Purn) Wiranto itu menjadi bakal calon gubernur pada Pilgub NTT 2018.

"Perpindahan Pak Medah (sapaan Ibrahim Agustinus Medah) tidak serta merta kemudian beliau diusung jadi bakal calon gubernur dari Partai Hanura," kata Ketua DPD Partai Hanura NTT Jimmy Siyanto saat dihubungi Antara di Kupang, Senin.

Ia mengatakan hal itu terkait apakah Partai Hanura menjamin untuk mengusung mantan Ketua DPD Golkar NTT Ibrahim Agustinus Medah menjadi calon Gubernur NTT pada Pilkada 2018 mendatang setelah memilih hengkang atau "lompat pagar" ke Partai Hanura beberapa waktu lalu.

Medah memilih pindah karena kebijakan partai berlambang pohon beringin itu yang dinilai mengangkangi mekanisme pencalonan bakal calon gubernur yang sedang diproses partai itu.

Medah menilai keputusan DPP Partai Golkar tentang penetapan bakal calon kepala daerah atas nama kader Melki Laka Lena di luar mekanisme dan peraturan organisasi Partai Golkar.

Menurut Jimmy Sianto, perpindahan Medah bukan karena ingin diusung Hanura namun keinginannya sendiri untuk melepas dari partai sebelumnya.

"Tapi bukan berarti ia pindah kemudian diusung, tidak seperti itu karena semuanya melalui mekanisme partai yang sedang berjalan," katanya menegaskan.

Ia menyebut, sejumlah mekanisme yang diberlakukan partai ketika mengusung calon gubernur atau wakil gubernur yakni mulai dari dari proses pendaftaran, pemaparan visi dan misi, survei, dan penetapan.

Medah sendiri, lanjut Jimmy, juga telah menyatakan kesiapan komitmennya untuk menghargai dan mengikuti berbagai mekanisme yang diterapkan Partai Hanura dalam mengusung calon.

"Jadi semua yang mendaftar melalui Partai Hanura tetap diberlakukan sama sesuai mekanisme yang ada, tidak ada perlakukan khusus untuk satu orang saja," katanya.

Di sisi lain, katanya, Partai Hanura masih harus beroalisi dengan partai- partai lain untuk bertarung dalam Pilgub NTT 2018 mendatang karena ketikcukupan kursi untuk mengusung calonnya sendiri.

"Untuk itu kami juga masih harus terus membangun komunikasi untuk berkoalisi dengan partai-partai lainnya, sehingga masih terus berprores," katanya.