Jakarta (ANTARA) - Andaipun memenangi sembilan pertandingan liga terakhirnya, Manchester City tak akan bisa menghindarkan diri dari kenyataan pahit bahwa musim ini mereka bakal mengumpulkan poin terendah selama ditangani Pep Guardiola.
City saat ini mengoleksi 48 poin. Jika mereka mendapatkan tambahan maksimal 27 poin dari sembilan laga terakhirnya itu, maka The Citizen bakal tuntas dengan 75 poin.
Itu poin terendah yang bisa dikumpulkan sebuah tim yang dilatih Guardiola sejak mantan gelandang Barcelona itu menjadi pelatih tim senior sepak bola profesional pada 2008.
Itu juga poin terendah sejak Guardiola menangani City pada musim 2016/2017 ketika klub ini finis urutan ketiga dengan 78 poin, yang sudah merupakan pencapaian terendah Guardiola bersama City, baik dari jumlah poin maupun posisi akhir dalam klasemen liga.
Guardiola melatih Barcelona selama empat musim dari 2008 sampai 2012, lalu memimpin Bayern Muenchen selama dua musim pada 2013-2015, dan menangani Manchester City sejak musim 2016-2017.
Jika dalam sembilan laga terakhir itu tergelincir, koleksi poin City akan lebih rendah lagi.
Ini ironi besar mengingat City mengakhiri musim lalu dengan menyandang status juara liga, ketika mereka menjadi tim pertama yang menjuarai liga utama Inggris empat kali berturut-turut.
Walau masih berpeluang mengangkat trofi Piala FA di mana akhir Maret ini mereka akan menghadapi Bournemouth dalam perempat final, Manchester City melewati musim yang paling berantakan selama era Guardiola.
Mereka dihentikan Real Madrid dalam perjalanan menuju babak 16 besar Liga Champions, padahal sejak musim 2012/2013 City selalu mencapai babak ini.
City sebenarnya mengawali musim 2024-2025 dengan cemerlang yang membuat semua orang yakin mereka akan berjaya seperti musim-musim sebelumnya.
City membuka musim ini dengan menjuarai Community Shield yang ketiga kali dilakukan selama era Guardiola. Mereka tak terkalahkan dalam sembilan pertandingan pertama musim ini.
Namun, peruntungan itu berubah sejak dilumat 1-2 oleh Tottenham Hotspur dalam babak keempat Piala Liga. Kekalahan ini menjadi awal dari periode sulit yang dialami City, karena setelah itu mereka hanya bisa memenangkan satu dari 13 pertandingan dalam semua kompetisi.
Ketika mereka kalah 1-2 dari Brighton pada 9 November 2024, untuk pertama kali Guardiola menyaksikan sebuah tim yang diasuhnya menelan empat kekalahan berturut-turut.
Meskipun demikian, ekspektasi manajemen klub ini kepada Guardiola tetap tinggi hingga berani mengganjar mantan pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen itu dengan kontrak baru pada 22 November 2024.
Namun, sehari setelah meneken kontrak perpanjangan itu, Guardiola harus menyaksikan City untuk kedua kalinya digasak oleh Tottenham, kali ini dengan skor mencengangkan, 0-4.
Predikat tim yang sangat sulit dikalahkan dan paling ditakuti pun sirna dari Man City.
Terakhir mereka menelan kekalahan kesembilan dari Nottingham Forest pada Sabtu 8 Maret ketika gol Callum Hudson-Odoi membuat pendekatan penguasaan bola yang dianut The Citizen di bawah Guardiola menjadi seperti tak ada artinya.
Krisis cedera
City kini berselisih enam poin di bawah Forest, yang musim lalu malah finis 59 poin di bawah The Citizen.
Tak hanya itu, sepanjang musim ini sejauh ini, City sudah kebobolan 40 kali, selain memasukkan 55 gol. Musim lalu, mereka mencetak 96 gol dan kebobolan 34 kali.
Angka kebobolan itu adalah level terendah selama Guardiola menangani City, padahal masih ada sembilan laga yang bisa membuat catatan itu bisa semakin buruk.
Semua angka itu menunjukkan rapuhnya pertahanan City dan sekaligus berkurangnya kesuburan barisan depannya selama musim ini.
Masalah di dalam dan di luar lapangan berada di balik krisis ini. Di luar lapangan adalah masalah aturan keuangan liga yang mereka langgar sehingga membuat mereka tak terlalu leluasa di bursa transfer pemain.
Sedangkan masalah di dalam lapangan yang terbesar adalah wabah cedera, terutama di jantung pertahanan dan lapangan tengah.
Mereka kehilangan John Stones, Nathan Ake dan Manuel Akanji karena cedera. Dan yang paling memukul mereka adalah Rodri. Jenderal lapangan tengah ini absen sejak September tahun lalu karena cedera.
Situasi itu kontras dengan City tujuh bulan lalu. Saat itu dominasi City tidak menunjukkan tanda-tanda bakal memudar.
Mereka mengangkat trofi Liga Primer untuk keempat kali berturut-turut dan menatap musim ini dengan asa mencetak rekor baru, menjuarai liga lima kali berturut-turut.
Mereka telah mengukuhkan diri sebagai salah satu tim terbaik sepanjang masa. Tapi tak lama kemudian mereka mengarungi periode sulit, sampai pernah terperosok dalam performa terburuk selama 18 tahun terakhir pada 21 Desember 2024 ketika dijinakkan 1-2 oleh Aston Villa.
Tak sejeli dulu
City tidak tajam dan tak jeli seperti dulu. Salah satu faktornya adalah para pemain yang menjadi tulang punggung sukses mereka dalam beberapa tahun terakhir sudah dimakan usia.
Kyle Walker yang Januari lalu dipinjamkan kepada AC Milan, kini berusia 34 tahun. Usia membuat Walker menjadi rapuh sehingga beberapa kali kehilangan konsentrasi di titik-titik penting.
Usia juga yang menggerogoti status pemain super yang disandang Kevin de Bruyne dan Ilkay Gundogan, yang masing-masing sudah berusia 33 dan 34 tahun.
Ketika City menelan kekalahan pertamanya dalam musim ini, tak ada yang berpikiran kritis ke masalah-masalah itu. Saat itu orang malah beranggapan kekalahan itu biasa, bahkan bagi tim sehebat Manchester City.
Tetapi, ternyata kekalahan itu berlanjut hingga menanggalkan City dari puncak klasemen liga, dan lalu membuang mereka dari Piala Liga dan Liga Champions.
Guardiola pun berusaha keras mencari penjelasan untuk alasan mengapa timnya demikian terpuruk.
Musim ini mereka tak saja kalah dari tim-tim besar, tapi juga dari tim-tim menengah seperti Bournemouth, Brighton, dan Nottingham Forest.
City bahkan tak bisa mengalahkan Brighton pada musim ini. Mereka juga dua kali dikalahkan Liverpool dalam dua pertandingan liga.
Dengan semua catatan itu, orang kini membicarakan kemungkinan City gagal finis empat besar sehingga terpental dari kompetisi Liga Champions musim depan. Jika ini terjadi, maka pertama kali sejak ditangani Guardiola, City tak bisa bermain di Liga Champions.
Skenario itu kini menghantui Guardiola, apalagi beberapa tim yang akan dihadapi The Citizen dalam sembilan pertandingan liga terakhir memiliki kemampuan untuk membuat luka The Citizen semakin dalam.
Tim-tim itu adalah Manchester United, Aston Villa dan Bournemouth. Ketiganya mengalahkan City dalam pertemuan pertama mereka musim ini.
City juga masih harus menghadapi tim-tim alot seperti Everton dan Fulham. Everton menjadi salah satu dari enam tim Liga Inggris yang memaksa The Citizen bermain seri pada musim ini.
Guardiola tak pernah menghadapi situasi sesulit ini sebelumnya, tapi dia pasti tertantang mementahkan anggapan orang tentang nasib City musim ini.
Cara Guardiola dalam membawa City mengakhiri musim ini menjadi salah satu bagian menarik dari Liga Inggris musim ini, yang patut disimak oleh para penggemar Liga Inggris.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Periode paling pahit Manchester City era Guardiola
Periode paling pahit Manchester City era Pep Guardiola
Manchester City's Spanish manager Pep Guardiola greets Manchester City's Norwegian striker #09 Erling Haaland at the end of the UEFA Champions League, league phase day 4 football match between Sporting Lisbon and Manchester City at the Jose Alvalade stadium in Lisbon on November 5, 2024. (Photo by Patricia DE MELO MOREIRA / AFP) (AFP/PATRICIA DE MELO MOREIRA)
Manchester City's Spanish manager Pep Guardiola greets Manchester City's Norwegian striker #09 Erling Haaland at the end of the UEFA Champions League, league phase day 4 football match between Sporting Lisbon and Manchester City at the Jose Alvalade stadium in Lisbon on November 5, 2024. (Photo by Patricia DE MELO MOREIRA / AFP) (AFP/PATRICIA DE MELO MOREIRA)