Jakarta (ANTARA) - Mantan bek legendaris Liverpool yang kini menjadi komentator sepak bola, Jamie Carragher, yakin seandainya Pep Guardiola, Jurgen Klopp atau Thomas Tuchel melatih skuad Manchester United yang sekarang, maka mereka pasti membuat Setan Merah menjadi juara liga.

Carragher mengatakan hal itu sebelum Cristiano Ronaldo merapat kembali di Old Trafford.

Waktu itu, Carragher melihat imbuhan kekuatan yang menebalkan asa juara liga bagi MU setelah Raphael Varane dan Jadon Sancho bergabung dengan Paul Pogba cs.

"Manchester United sudah mengeluarkan dana sebesar yang dikeluarkan City, berbelanja sebesar yang dibelanjakan Chelsea, jadi ya ini semacam fondasi. Saya takberanggapan Manchester United tak bisa menjuarai liga tahun ini. Jika sampai finis urutan ketiga atau keempat, maka sungguh tak bisa diterima," kata Carragher kepada Sky Sports akhir Agustus lalu.

Baca juga: MU dan Bruno Fernandes bahas perpanjangan kontrak


Tak terbayangkan apa ucapan Carragher jika saat itu Ronaldo sudah bergabung dengan United. Mungkin dia akan mengatakan Setan Merah wajib juara liga, bahkan juara Liga Champions.

Carragher melihat Liverpool yang tak berbelanja seroyal Man United saja bisa menjuarai liga lagi setelah 30 tahun menunggu. The Reds bahkan dua kali masuk final Liga Champions yang salah satunya mereka menangi pada 2019.

Sebaliknya, sudah empat musim United tak pernah mengangkat trofi apa pun, termasuk Piala FA dan Piala Liga.

Kini, setelah ada Ronaldo, tekanan bisa berbalik tidak lagi kepada pemain yang sebelum ini kerap dianggap biang keladi kegagalan Setan Merah mengangkat trofi.

Tekanan itu kini bakal tertuju kepada manajer mereka, Ole Gunnar Solksjaer yang sebelum ini relatif terhindar dari sorotan ketika timnya gagal memetik hasil positif.

Baca juga: Solksjaer pasang target bawa MU juara Liga Champions

Tapi kini hal seperti itu tidak akan lagi terjadi. Solksjaer akan disorot begitu timnya tak mencapai hasil positif, terutama ketika menghadapi tim-tim yang di atas kertas berada di bawah Manchester United seperti Young Boys yang menumbangkan mereka 1-2 dalam pertandingan fase grup Liga Champions, Rabu dini hari lalu.

Man United memang harus bertanding dengan sepuluh pemain selama hampir satu jam terakhir laga melawan Young Boys di kandangnya di Stade de Suisse, Bern, Swiss.

Tapi yang kemudian disorot pengamat dan penggemar sepak bola adalah justru cara Solksjaer menyeleksi pemainnya dan juga membaca pertandingan.


Tak menjaga momentum

Kini nyaris tak ada yang terlalu mempersoalkan kesalahan pemain, termasuk Jesse Lingard yang melakukan blunder pada satu menit terakhir yang membuat Young Boys menang.

Ironisnya kekalahan itu terjadi hanya tiga hari setelah Setan Merah menggasak Newcastle United 4-1 dalam pertandingan liga ketika Solksjaer memasang empat pemain eksplosif yang tak hanya membunuh prakarsa menyerang Newcastle tetapi juga produktif menciptakan peluang.

Saat itu barisan belakang Newcastle tak bisa berkonsentrasi menjaga Cristiano Ronaldo karena juga harus menangkal tusukan-tusukan duo sayap, Mason Greenwood dan Jadon Sancho, selain agresi dari sektor tengah sepertiga lapangan terakhir United di mana Bruno Fernandes beroperasi.

Baca juga: Debut keduanya di MU, Cristiano Ronaldo: Saya sangat gugup

United praktis mengurung Newcastle. Tetapi uniknya, formula ini tak diteruskan oleh Solksjaer kala melawan Young Boys. Keputusannya itu mengingatkan orang kepada sejumlah salah langkah yang dia lakukan, termasuk saat mengubah skuad yang meluluhlantakkan RB Leipzig 5-0 dalam pertandingan fase grup Liga Champions musim lalu, ketika menghadapi Arsenal tiga hari kemudian di kandang sendiri. Saat itu The Gunners menang 1-0.

Melawan Young Boys, Solksjaer melakukan hal serupa. Dia tak memasang Greenwood yang justru kerap meneror lawan, dan bahkan Varane.

Memang belum menjamin hasil sama bisa terulang, tapi kebiasaan Solksjaer mengotak-atik formasi yang sudah terbukti positif justru sering menjadi bumerang.

Musim lalu, MU sebenarnya bisa melesat ke puncak klasemen karena saat itu Manchester City, Liverpool dan Chelsea tengah mengalami krisis hampir separuh pertama musim itu.

Namun Solksjaer tak bisa memanfaatkan momentum tersebut. United malah kalah 1-2 melawan Sheffield United yang merupakan tim Liga Inggris paling lemah musim itu. Padahal semua tim besar Liga Premier selalu mengalahkan Sheffield dan ketika poin penuh dari Sheffield bisa melontarkan United ke puncak klasemen.

Banyak lagi statistik musim lalu yang membuka halaman buruk Solksjaer, di antaranya saat dia tetap memasang Fred yang melakukan tekel-tekel sembrono sehingga mendapatkan kartu kuning pada babak pertama pertandingan fase grup Liga Champions melawan Paris Saint Germain pada 3 Desember 2020.

Saat itu banyak pengamat sepakbola di Inggris mempertanyakan keputusan Solksjaer tak segera mengganti Fred pada babak kedua yang mereka yakini akan membuat cerita United musim itu akan lain.

Solksjaer tetap memasang Fred. Dan seperti sudah diperkirakan banyak orang, gelandang asal Brazil akhirnya mendapatkan kartu kuning kedua, dan PSG pun menang 3-1.

Nasib United dalam Liga Champions musim itu pun tergantung kepada laga fase grup terakhinya melawan tuan rumah Leipzig.

Dan meskipun mendominasi laga ini, United akhirnya terlempar dari Liga Champions musim lalu itu setelah Leipzig membalas kekalahan pada laga tandangnya dengan menang 3-2.


Mestinya jadi tim super

Epilog mengecewakan dari berbagai laga krusial itu membuat Solksjaer dianggap tak bisa membuat timnya memelihara momentum, dan itu terjadi sebagian karena kegemarannya mengotak-atik skuad 'the winning-team'.

Bahkan ketika pengamat dan penggemar mendesak David de Gea yang musim lalu berpenampilan buruk, dicoret dari kiper nomor satu untuk memberi tempat kepada Dean Henderson, Solksjaer bergeming, sampai kemudian dia menyadari kiper muda ini sudah waktunya diberikan kesempatan. Dan ternyata Henderson menjadi salah satu faktor penting di balik finis kedua musim lalu.

Kebiasaan Solksjaer yang kerap berbuah hasil buruk itu tak terlalu terekspos musim lalu karena orang masih lebih banyak melihat pemain sebagai biang kerok jika hasil pertandingan menjauh dari harapan. Namun musim ini akan sama sekali lain.

Solksjaer kini memiliki salah satu dari dua pesepakbola terhebat era ini, Cristiano Ronaldo. Dia juga mempunyai Varane yang merupakan salah satu bek terbaik di dunia yang turut mengantarkan Real Madrid empat kali mengangkat trofi Liga Champions.

Dia juga memiliki Jadon Sancho yang menjadi salah satu faktor penting di balik sukses Borussia Dortmund di Bundesliga.

Dengan anggota-anggota baru skuad yang sementereng ini yang menjadi imbuhan untuk skuad sebelumnya yang sudah hebat, seharusnya United menjadi tim yang super, dan tak bisa dikalahkan tim-tim medioker.

Akan termaafkan jika United tak bisa memetik poin penuh atau bahkan sama sekali tak mendapatkan poin dari tim-tim seperti Man City, Liverpool, Chelsea, dan tim-tim lain sekelasnya termasuk di luar Inggris.

Namun akan menjadi masalah sangat besar jika United tumbang di tangan tim-tim medioker seperti musim lalu melawan Sheffield United, apalagi kini memiliki pemain-pemain sekaliber Ronaldo dan Varane.

Tergelincir lagi seperti saat melawan Young Boys bakal membahayakan posisi Solksjaer. Media massa Inggris bahkan sudah mulai menyebut Antonio Conte dan Zinedine Zidane sebagai calon pengganti Solksjaer.

Oleh karena itu, Solksjaer tak boleh lagi melakukan eksperimen yang tak perlu yang hasilnya malah membuat pintu keluar Old Trafford dibuka lebar-lebar untuk dia.

Kalah menang memang biasa dalam olahraga, tapi bagi tim sebesar MU dan sudah berbelanja demikian banyak, kekalahan tetap tidak termaafkan, khususnya dengan komposisi skuad seperti saat ini.

Solksjaer harus menjaga konsistensi timnya. Dan itu dimulai dari pertandingan liga melawan tuan rumah West Ham United, Minggu malam esok.

Pewarta : Jafar M Sidik
Editor : Kornelis Aloysius Ileama Kaha
Copyright © ANTARA 2024