Artikel - Kisah penjual petasan musiman

id Petasan

Artikel - Kisah penjual petasan musiman

Penjual petasan musiman di Kota Kupang (ANTARA Foto/istimewa)

"Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia," tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.
Kupang (ANTARA News NTT) – Pemandangan di kilometer 10 Jalan Timor Raya Kupang, Nusa Tenggara Timur yang biasanya padat dengan pengendara ojek, tampak berbeda sejak Sabtu (8/12) sore ketika anak-anak remaja mulai mangkal di lokasi itu.

Kerumunan anak-anak remaja itu hanya untuk membeli petasan yang dijual para pedagang musiman di kilometer 10 Jalan Timor Raya Kupang tersebut.

Memasuki Desember, para penjual musiman mulai bermunculan untuk menjajakan barang dagangannya di pinggir jalanan kota, entah itu petasan, makanan, minuman dan barang jajanan lainnya. Namun, yang lebih mencolok adalah petasan.

Bagi kebanyakan masyarakat Kota Kupang, Desember adalah bulan yang penuh dengan kegembiraan, karena orang Kristiani yang menjadi mayoritas penghuni ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini akan merayakan Natal dan Tahun Baru.

Nuansa kegembiraan itu sering diselaraskan dengan bunyi petasan yang riuh redah untuk menyambut datangnya Sang Juru Selamat Yesus Kristus di kandang Bentlehem.

Maka tak mengherankan jika hampir seluruh ruas jalan dalam kota, terutama pada titik-titik tertentu penuh dengan lapak penjualan petasan, seperti yang tampak di kilometer 10 Jalan Timor Raya itu.

"Saya berjualan petasan sejak Desember 2012 hanya sekadar untuk mendapat penghasilan tambahan dari pekerjaan saya yang sebenarnya sebagai tukang ojek," kata Oscar Ola (29) saat ditemui di kilometer 10 Jalan Timor Raya.
Penjual petasan musiman di Kota Kupang (ANTARA Foto/istimewa)
Pria kelahiran Kupang ini mengaku hanya mengembangkan usaha sebagai penjual petasan musiman tersebut saat bulan Desember tiba. "Saya hanya menjadi penjual petasan pada bulan Desember saja, sedang waktu sisanya untuk mengojek," ujarnya.

Oscar yang bertempat tinggal di Jalan Jatirosa, Oesapa Timur ini mengaku hanya mendapat keuntungan berkisar Rp100.000 per hari dari menjual petasan tersebut. "Kalau saat menjelang Natal, modalnya bisa kembali karena barang dagangannya laku terjual," tambahnya.

Ia mendapatkan bahan petasan tersebut dari toko NAM Kupang yang menjual secara grosiran, baik itu mercon maupun kembang api. "Modalnya cuma Rp2 juta untuk membeli berbagai jenis petasan ini," katanya.

Petasan berukuran paling kecil seukuran ibu jari dijual dengan harga Rp1.000/buah, agak lebih besar sedikit dijual dengan harga Rp5.000.  "Kalau petasan berukuran besar dengan beberapa kali varian ledakan, saya jual dengan harga Rp20.000 sampai Rp25.000/buah," tuturnya.

Ama Beam (35), salah seorang penjual petasan lainnya di ujung jembatan Liliba Kupang mengaku dalam sehari ia bisa mendapat keuntungan antara Rp100.000 sampai Rp200.000 jika ramai pembelinya. "Keuntungan sangat bergantung dari suasananya," katanya menambahkan.

Saat menjelang Natal dan Tahun Baru, kata dia, hampir semua barang dagangannya laku terjual, karena semua orang pada umumnya suka membakar petasan setelah perayaan malam Natal dan pada saat malam pergantian tahun.

Ama juga mengaku bahwa dirinya merintis usaha penjualan petasan itu hanya sekadar untuk menyalurkan hobi, dan hanya dilakukannya saat bulan Desember tiba.
Penjual petasan musiman di Kota Kupang (ANTARA Foto/istimewa)
"Tiap hari saya berjualan di kios ini. Saat menjelang Natal dan Tahun Baru, saya mulai melebarkan usaha dengan menjual petasan untuk memenuhi kebutuhan warga, terutama anak-anak remaja," ujarnya.

Sejarah petasan
Petasan kemudian berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. 

Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia.

Petasan lalu mengalami perkembangan. Tak lagi menggunakan bambu tapi gulungan kertas. Ia juga merambah Eropa melalui Marcopolo yang membawa beberapa petasan Cina ke Italia pada 1292. 

Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.

"Italia memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan petasan modern di dunia," tulis John Roach dalam National Geographic News, 4 Juli 2003.

Lalu bagaimana dengan sejarah munculnya petasan di persada nusantara. Petasan yang bermula di Indonesia, diduga dibawa para pedagang Cina pada saat itu.

Namun, penguasa VOC pada 1650 mengeluarkan larangan membakar petasan terutama di bulan-bulan kemarau seperti Desember, Januari, dan Februari. 
Penjual petasan musiman di Kota Kupang (ANTARA Foto/istimewa) 
Petasan dianggap memicu kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia. 

Larangan serupa juga diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung, terlebih saat perayaan Tahun Baru, Imlek, Lebaran, dan Natal.

Sejarawan Alwi Shahab menduga tradisi membakar petasan itu berasal dari tradisi orang-orang Cina yang bermukim di Jakarta. Orang-orang Cina tempo dulu biasa menggunakan petasan sebagai alat komunikasi untuk mengabarkan adanya pesta atau suatu acara besar. 

Pada zaman milenial seperti sekarang, ada banyak cara untuk menunjukkan status atau rasa syukur lewat berbagai teknologi modern yang ada, namun suara petasan pun masih tetap dibutuhkan, meski bukan merupakan sebuah tradisi.
Penjual petasan musiman di Kota Kupang (ANTARA Foto/istimewa)