Jakarta (ANTARA) - Baru berjalan sebulan setelah merilis Macro Poverty Outlook edisi April 2025, Bank Dunia meluncurkan laporan bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform. Dalam pembaruan ini, Bank Dunia secara resmi telah menggunakan perhitungan purchasing power parity (PPP) 2021 untuk menentukan garis kemiskinan global, menggantikan standar PPP 2017 yang digunakan sebelumnya.
Bagi Indonesia yang kini dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country), perubahan ini membawa implikasi besar. Garis kemiskinan yang digunakan naik dari US$6,85 PPP menjadi US$8,30 PPP per kapita per hari.
Akibatnya, persentase penduduk Indonesia yang tergolong miskin pada 2024 melonjak menjadi 68,3 persen dari total populasi, meningkat signifikan dibanding angka sebelumnya yang sebesar 60,3 persen ketika masih memakai PPP 2017.
Lonjakan angka ini langsung menyita perhatian publik dan memicu perdebatan. Sebagian mempertanyakan keabsahan data kemiskinan nasional, sementara yang lain menuduh adanya upaya menyamarkan kondisi sebenarnya. Padahal, yang terjadi bukan manipulasi data, melainkan perbedaan konsep dan tujuan pengukuran.
BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN), sementara Bank Dunia mengukur kemiskinan berdasarkan daya beli dan standar hidup layak antarnegara.
Perdebatan ini, seharusnya tidak disikapi sebagai konflik angka. Sebaliknya, ini adalah momen yang tepat untuk refleksi lebih mendalam: apakah kita siap menggunakan tolok ukur yang lebih tinggi yaitu standar kemiskinan negara maju untuk membaca ulang realitas sosial kita?
Untuk menjawabnya, kita harus terlebih dahulu memahami siapa yang tergolong miskin jika garis kemiskinan UMIC diterapkan. Berdasarkan simulasi data Susenas Maret 2024, terlihat bahwa mayoritas mereka bukanlah kelompok marginal klasik.
Dalam pendekatan BPS, sebagian besar penduduk miskin berpendidikan rendah dan bekerja di sektor pertanian. Tapi dengan standar UMIC, gambarannya mengalami pergeseran.
Jika dilihat dari pendidikan, penduduk miskin versi UMIC tidak didominasi oleh mereka yang tidak tamat sekolah. Hanya 33,4 persen yang tidak tamat SD, jauh lebih rendah dibanding 42,4 persen jika menggunakan metode BPS. Sebaliknya, proporsi mereka yang lulus SMA naik dari 13,8 persen menjadi 20,2 persen, dan lulusan perguruan tinggi meningkat dari 1,6 persen menjadi 3,8 persen.
Ini artinya, pendidikan yang dulunya diyakini sebagai jalan keluar dari kemiskinan, kini tidak lagi menjadi jaminan. Bahkan mereka yang telah mengikuti nasihat negara—bersekolah selama 12 tahun atau lebih—masih bisa masuk kategori miskin jika hidupnya tidak ditopang oleh pasar kerja yang adil dan produktif.
Dari sisi lapangan usaha, pergeseran serupa juga terjadi. Jika konsep yang digunakan BPS menunjukkan bahwa 27,7 persen penduduk miskin bekerja di lapangan usaha pertanian tanaman padi dan palawija, maka versi UMIC menurunkannya menjadi hanya 18,6 persen.
Sektor jasa, perdagangan, transportasi, dan industri pengolahan justru mengambil porsi lebih besar. Pekerja industri pengolahan, misalnya, menyumbang 12,2 persen dari kelompok miskin versi UMIC.
Ini menunjukkan bahwa kemiskinan kemudian akan dapat bergeser dari perdesaan ke perkotaan, dari ladang ke jalanan, dari pengangguran ke pekerja aktif yang tetap terjebak dalam ketidakpastian ekonomi.
Kepemilikan aset pun menjadi indikator yang menantang asumsi lama. Dalam definisi BPS, 67,5 persen rumah tangga miskin memiliki sepeda motor. Dalam versi UMIC, angkanya melonjak ke 81,8 persen. Bahkan, 5,1 persen penduduk miskin versi UMIC memiliki mobil.
Hal ini menggambarkan bahwa kemiskinan hari ini tidak selalu kasat mata. Ia tidak lagi muncul dalam wujud rumah reyot, pakaian lusuh, atau ketiadaan kendaraan. Ia hadir dalam bentuk saldo rekening yang selalu menipis sebelum akhir bulan, pekerjaan tanpa kontrak dan tanpa jaminan, serta penghasilan yang cukup untuk bertahan tetapi tidak cukup untuk berkembang.
Bila ditilik lebih jauh, mereka yang tergolong miskin versi UMIC ini kerap berada di lapisan sosial yang selama ini kita sebut sebagai "kelas menengah bawah." Mereka bekerja, berpendidikan, memiliki motor, bahkan sebagian punya mobil. Tapi semua itu tidak cukup untuk menempatkan mereka di luar kemiskinan jika yang digunakan adalah definisi kemiskinan layak versi UMIC, bukan sekadar garis bertahan hidup.
Dalam konteks nasional, BPS selama ini menggunakan pendekatan CBN yang pada dasarnya bertujuan untuk mengidentifikasi kelompok termiskin yang membutuhkan intervensi segera. Dalam kerangka ini, orang miskin adalah mereka yang disebut sebagai the 4L: the last, the least, the lowest, and the lost. The Last adalah mereka yang selalu tertinggal dalam mengakses layanan dasar. The Least adalah mereka yang memiliki sangat sedikit dalam hidup—dari harta hingga kesempatan. The Lowest adalah mereka yang berada di lapisan sosial ekonomi terbawah dan sering tak terlihat oleh data maupun kebijakan. Sementara The Lost menggambarkan mereka yang telah kehilangan harapan, jaring pengaman, dan kemampuan untuk bangkit kembali.
Namun, jika kita beralih pada standar UMIC, maka cakupan kelompok miskin menjadi jauh lebih luas. Ia tidak hanya mencakup 4L, tetapi juga mereka yang tampak “baik-baik saja” namun rapuh secara ekonomi. Mereka bukan the lost, tetapi the almost—hampir cukup, hampir aman, hampir sejahtera. Dan kelompok inilah yang saat ini jumlahnya sangat besar di Indonesia.
Konsekuensi dari perluasan definisi ini nantinya bukan hanya pada angka. Ia juga menyangkut arah kebijakan. Jika pemerintah tetap bertumpu pada definisi lama, maka program perlindungan sosial akan terus menyasar hanya pada kelompok paling bawah. Padahal kelompok rentan yang lebih besar tidak kalah membutuhkan jaring pengaman.
Mereka mungkin tidak terlihat dalam statistik kemiskinan, tapi mereka sangat nyata dalam keseharian: keluarga muda di kota kecil yang penghasilannya habis untuk sewa dan cicilan; buruh pabrik dengan upah minimum tanpa tunjangan; pekerja lepas yang tidak memiliki akses pada BPJS Ketenagakerjaan.
Menaikkan garis kemiskinan berarti menaikkan standar hidup yang kita anggap layak untuk warga negara. Ini tentu menuntut lebih banyak anggaran, lebih banyak data, dan lebih banyak ketelitian dalam merancang intervensi. Tapi lebih dari itu, ini menuntut keberanian politik untuk mengakui bahwa banyak dari mereka yang disebut "bukan miskin" dalam statistik nasional sebenarnya belum hidup dengan layak. Dan keberanian ini penting jika kita ingin membangun sistem perlindungan sosial yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif.
Sebagian mungkin berargumen bahwa menaikkan standar akan memperbesar beban negara. Tapi justru sebaliknya, dengan memahami siapa saja yang rentan, kita bisa mencegah lebih banyak orang jatuh miskin di kemudian hari. Biaya perlindungan sosial yang inklusif jauh lebih rendah daripada biaya mengatasi dampak sosial dari ketimpangan yang dibiarkan.
Kita tentu tidak bisa serta-merta mengadopsi garis kemiskinan UMIC sebagai acuan resmi. Tapi kita bisa mulai dengan menggunakannya sebagai refleksi. Sebagai cermin yang menunjukkan seberapa jauh kita dari negara-negara UMIC lainnya—bukan hanya dalam angka PDB per kapita, tapi dalam hal standar hidup warganya.
Refleksi ini bisa menjadi titik tolak untuk merumuskan kebijakan yang lebih progresif: memperluas cakupan bantuan sosial, mendorong upah layak, memastikan perlindungan bagi pekerja informal, dan memperkuat sistem jaminan sosial universal.
Dalam narasi pembangunan, angka kemiskinan sering kali menjadi simbol keberhasilan. Tapi angka juga bisa menyesatkan jika kita tidak memahami konteks dan cara menghitungnya. Penurunan angka kemiskinan versi nasional memang layak diapresiasi, tetapi kita juga perlu mengupdate standar kemiskinan agar sesuai dengan kondisi terkini. Dan ketika kita melihat ke cermin global, kita harus siap menghadapi pantulan yang tidak selalu menyenangkan.
Membaca ulang angka kemiskinan bukan berarti menafikan capaian yang telah ada. Sebaliknya, ini adalah pengakuan bahwa pembangunan belum selesai. Bahwa masih banyak warga yang bekerja keras, berpendidikan, dan hidup tanpa bantuan, tetapi tetap belum bisa disebut sejahtera. Bahwa jika kita ingin benar-benar menjadi negara maju, kita tidak bisa membiarkan mayoritas warganya hidup hanya di atas garis minimum.
Dalam penjelasan resmi Bank Dunia, mereka menegaskan bahwa tidak ada satu garis kemiskinan yang cocok untuk semua tujuan. Garis kemiskinan internasional tidak dimaksudkan untuk menggantikan definisi nasional, melainkan sebagai alat untuk perbandingan lintas negara dan refleksi global. Bahkan mereka menegaskan bahwa garis ini tidak menggunakan kurs pasar, tetapi disesuaikan dengan daya beli dan biaya hidup di masing-masing negara.
Maka ketika Indonesia tampak “lebih miskin” dalam standar ini, itu bukan karena data pemerintah salah, melainkan karena standar global telah berubah, dan kita diundang untuk mengevaluasi apakah standar domestik kita masih relevan dalam konteks yang lebih luas.
Kini saatnya berhenti bertanya: siapa yang benar, BPS atau Bank Dunia? Pertanyaan yang lebih penting adalah: standar hidup seperti apa yang kita anggap layak untuk warga negara kita sendiri?
Jika jawabannya adalah hidup yang bermartabat, maka kita harus mulai menyesuaikan ukuran dan kebijakan kita. Karena pada akhirnya, kemiskinan bukan hanya soal berapa rupiah yang dibelanjakan per hari, tapi tentang seberapa besar negara menghargai hidup warganya.
*) Nuri Taufiq dan Lili Retnosari adalah Statistisi di Tim Kemiskinan Direktorat Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS)
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Siapkah Indonesia menerapkan garis kemiskinan standar Bank Dunia?

Siapkah Indonesia terapkan garis kemiskinan standar Bank Dunia?
Oleh Nuri Taufiq, Lili Retnosari*)


Kepala BP Taskin Budiman Sudjatmiko (dua kiri) menandatangani nota kesepahaman bersama atau MoU dengan Kepala BGN Dadan Hindayana (dua kanan) terkait pembangunan 1.000 SPPG pada wilayah dengan kantong-kantong kemiskinan serta 3T di Jakarta pada Senin (16/6/2025). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari/aa.