Kupang, NTT (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang, Nusa Tenggara Timur mendukung Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai pelopor dalam mewujudkan gereja inklusif yang ramah bagi penyandang disabilitas.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada GMIT yang sudah menjadi pelopor dan inisiator gereja ramah disabilitas. Ini gerakan bersama yang terstruktur, sistematis, dan masif agar gereja menjadi inklusif,” kata Wali Kota Kupang dr. Christian Widodo, di Kupang, Senin.
Hal ini ia sampaikan dalam kegiatan Lokakarya Gereja Ramah Disabilitas bagi 57 klasis GMIT dan komunitas disabilitas setempat.
Ia menegaskan visi GMIT sejalan dengan visi Pemkot Kupang, yakni menjadikan Kupang sebagai Kota Inklusif, Rumah Bersama.
Christian mencontohkan berbagai langkah nyata Pemkot Kupang dalam mengintegrasikan kebijakan ramah disabilitas, Salah satunya melalui penetapan Kelurahan Naikoten 1 sebagai Kelurahan Disabilitas yang telah dilengkapi jalur landai untuk akses kursi roda dan layanan pelanggan khusus bagi warga disabilitas.
Selain itu, pemkot juga telah menyiapkan dua peraturan baru terkait pemenuhan hak dan bantuan hukum bagi penyandang disabilitas, serta rencana pembangunan pusat layanan inklusi di lingkungan GMIT Paulus pada 2026 sebagai bentuk kolaborasi antara pemerintah dan gereja.
“Hari ini kami bantu kegiatan ini sebesar Rp25 juta. Selain itu, juga telah diserahkan bantuan kursi roda, alat bantu dengar, dan kruk kepada teman-teman disabilitas. Namun, saya tidak ingin berhenti pada alat bantu saja. Saya ingin memberikan pelatihan agar mereka bisa berdaya dan mandiri,” katanya.
Christian mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus berkolaborasi dalam semangat kebersamaan untuk mewujudkan Kota Kupang yang ramah dan inklusif bagi semua.
Sementara itu, Ketua Sinode GMIT Pdt. Samuel Benyamin Pandie menyampaikan rasa syukur karena GMIT menjadi sinode pertama di Indonesia yang menggerakkan pelayanan disabilitas secara terstruktur hingga ke tingkat klasis.
Ia menekankan bahwa perubahan menuju gereja inklusif harus dimulai dari perubahan cara pandang dan keberpihakan nyata.
“Ruang inklusi harus diikuti keberpihakan anggaran. Gereja mesti memberi tempat dan dukungan bagi saudara-saudara disabilitas karena mereka diciptakan dengan keindahan dan martabat yang sama di hadapan Tuhan. Dari sinilah gereja belajar melihat seluruh keberadaan manusia sebagai karya indah Allah,” tutupnya.

