Kupang, NTT (ANTARA) - Pakar energi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Prof Ir Fredrik L. Benu MSi PhD menilai saat ini Indonesia membutuhkan kebijakan pemerintah soal nilai tambah yang dihasilkan dari pemanfaatan energi listrik agar masyarakat semakin terberdaya.
"Suplai listrik tidak hanya bisa dipakai untuk konsumsi, tapi harus juga untuk produksi guna menambah nilai ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," kata Fredrik yang kerap disapa Prof Fred Benu pada Diskusi Kebijakan Publik Energi, Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran dari sudut pandang energi, di Kupang, Senin.
Diskusi ini digelar Forum wartawan ekonomi Kota Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang juga melibatkan perwakilan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Mantan Rektor Undana ini menyebut potensi energi baru terbarukan yang tersebar di Indonesia sangat besar, sehingga diperlukan adanya komitmen pemerintah pusat yang bekerja sama secara harmonis dengan setiap pemerintah daerah untuk memanfaatkan potensi energi tersebut secara maksimal, guna memenuhi kebutuhan bauran energi 19-23 persen sampai 2030.
"Kita membutuhkan adanya sharing of responsibility, sharing of risk, sharing of resources antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan tentunya libatkan masyarakat juga dan pihak dunia usaha," ujarnya.

Menurut dia, Indonesia berpotensi menggapai kemandirian energi, namun sangat disayangkan jika umumnya hanya untuk keperluan konsumsi tanpa nilai tambah ekonomi.
Ia menyebut pasokan energi listrik yang saat ini masih menggunakan energi fosil yang berakibat terjadi subsidi yang nilainya pada tahun ini sekitar Rp830-an triliun. Dari nilai tersebut sekitar Rp113 triliun merupakan subsidi BBM dan elpji, dan subsidi listrik sekitar Rp95 triliun ketika PLN harus berhutang karena oversuplay energi listrik.
"Itulah sebabnya suplai listrik tidak hanya bisa dipakai untuk konsumsi, tapi harus juga untuk produksi guna menambah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai kita penuhi kemandirian energi tapi semua itu untuk konsumsi, nilai tambah ekonomi kecil," ujarnya.
Untuk itu, kata Prof Fred, dibutuhkan kebijakan pemerintah tidak saja soal suplai energi tapi juga soal kebijakan pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah, untuk peningkatan produksi dalam negeri.
"Itu sangat penting," ujarnya.
Sementara itu, pada momentum yang sama, pakar kebijakan publik dari Undana Prof Dr David B. W. Pandie MS mengatakan Indonesia mampu mengelola transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan.
Menurut dia, transisi energi ini penting untuk membangun kemandirian, ketahanan dan kedaulatan energi.
"Oleh karena itu, harus ada roadmap yang jelas, sampai pada kita mencapai kemandirian energi, dan harus ada sharing peran dari semua pihak yang berkaitan dengan energi," ujarnya.

Selain itu, kata dia, hal yang sangat penting dan sangat krusial lainnya yakni membangun ilmu dan teknologi yang menopang transisi energi.
"Kapan orang Kupang berhenti mengeluh cuaca panas sampai Oktober, ini keluhan, dan mestinya mari kita bicara biomasa dan energi surya dan ini harus by the sign, merencanakan human capital berkaitan dengan keahlian, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk energi baru terbarukan," ujarnya.
Oleh karena itu, Prof David mendorong supaya pengembangan SDM di bidang energi baru terbaharukan menjadi faktor kunci.
"Saya dan Prof Fred mencoba memanfaatkan energi berbasis biomasa di Amarasi (salah satu kecamatan di Kabupaten Kupang), memanfaatkan tanaman lamtoro yang sudah ditanam 100 tahun lalu oleh Raja Amarasi dan masyarakat," ujarnya.
Dari tiga desa di Amarasi bisa diperoleh 30 juta pohon lamtoro, dan perlu ada keadilan jika masyarakat sudah tanam 30 juta pohon.
"Keadilan berupa perdagangan karbon yang bisa mereka peroleh. Mereka menghasilkan oksigen tetapi juga bisa menyerap emisi. Harus ada semacam keuntungan bagi masyarakat yang sudah ratusan tahun pelihara lamtoro," ujarnya.
Sedangkan pakar ekonomi Dr Frits Fanggidae yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menyarankan pemerintah membuat regulasi yang khusus mengatur sistem perekonomian nasional.
"Di bidang pendidikan kita punya undang-undang Sisdiknas yang mengatur proses pendidikan dan tata kelola, di bidang politik juga punya Undang-undang yang mengatur cara berdemokrasi, tapi kita tidak punya undang-undang yang khusus mengatur ekonomi. Ke depan ada baiknya, dibuat Undang-undang yang mengatur sistem perekonomian nasional, jika kita ingin masyarakat bawah punya kedaulatan atas ekonomi maka perlu undang-undang itu," ujar Frits.

