AJI Kecam Pelaku Kekerasan Jurnalis di Istiqlal

id AJI

AJI Kecam Pelaku Kekerasan Jurnalis di Istiqlal

Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim

AJI mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan kasus kekerasan ke kepolisian agar kasus ini diusut hingga tuntas agar kekerasan tidak berulang.
Kupang (Antara NTT) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan peserta aksi 112 terhadap dua jurnalis Metro TV dan seorang jurnalis Global TV di lingkungan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Sabtu.

Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim dalam rilis yang diterima di Kupang, Sabtu mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan kasus kekerasan ke kepolisian agar kasus ini diusut hingga tuntas agar kekerasan tidak berulang.

AJI mengimbau para jurnalis untuk mengutamakan keselamatan saat meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan tidak menghargai para jurnalis.

Tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kegiatan jurnalistik bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. "Tindakan kekerasan terhadap jurnalis jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers," katanya.

Tindakan kekerasan ini mencerminkan pelaku tidak menghargai dan menghormati profesi jurnalis. Padahal jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Pers dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik.

Pasal 8 itu dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan dan kontrol sosial, seperti diatur Pasal 3 undang-undang itu.

Menurut dia, tekanan dan tindakan kekerasan terhadap jurnalis akan menghalangi hak publik memperoleh berita yang akurat dan benar, karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. "Padahal jurnalis bekerja untuk kepentingan publik," kata Nurhasim.

Dia menyebutkan kasus kekerasan itu bermula saat dua jurnalis Metro TV, Desi Bo (reporter) dan Ucha Fernandes (kameraman), sedang meliput aksi 11 Februari 2017 (dikenal aksi 112) sekitar pukul 11.00 WIB sekitar Masjid Istiqlal, Jakarta.

Karena mengetahui kedua jurnalis dari Metro TV, tiba-tiba dari kerumunan massa mengusir dua jurnalis itu.

Dari keterangan yang dikumpulkan AJI Jakarta, kedua jurnalis Metro TV ini saat itu mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal di sisi timur laut, seberang Gereja Katedral.

Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang "Usir Metro TV... usir Metro TV." Keduanya digiring oleh massa dan dicaci maki, di intimidasi serta diusir keluar dari lingkungan masjid.

Ucha Fernandes dipukuli di bagian perut, leher dan kaki. Sedangkan kepala Desi dipukuli pakai bambu dan terluka. Setelah babak belur, keduanya bisa dikeluarkan dari kerumuman massa.

Juru kamera Global TV Dino juga diintimidasi saat meliput aksi tersebut. Dia dituduh tidak sopan saat menyebut nama pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Sihab, tanpa menyertakan sebutan "Habib". Massa memaksanya menambahkan kata "Habib" saat menyebut Rizieq Shihab.

Kasus lainnya, pada Jumat 10 Februari 2017 malam, mobil Kompas TV diusir oleh massa 112 dari lingkungan Masjid Istiqlal.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis bisa dijerat Pasal 18 Undang-Undang karena secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik.

"Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta. Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan tindakan kekerasan ini ke kepolisian," ujarnya.

Kekerasan terhadap jurnalis, kata dia, terus berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak diadili.

Anggota masyarakat seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakan mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media ke Dewan Pers.

AJI mengimbau jurnalis mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional.

Selain itu, AJI Jakarta mendorong pemimpin redaksi memperhatikan keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan mengancam kerja-kerja jurnalistik. Perusahaan media harus bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan jurnalisnya yang sedang bertugas.

Kasus kekerasan serupa juga dilakukan oleh peserta aksi pada 4 November dan 2 Desember 2016 lalu terhadap beberapa jurnalis.

Sampai saat ini, pengaduan di Kepolisian Jakarta Pusat yang disampaikan oleh jurnalis Kompas TV pada awal November belum jelas pengusutannya.

Dalam kesempatan ini, AJI Jakarta mendorong Polres Jakarta Pusat untuk serius mengusut pelaku kekerasan yang memukuli jurnalis Kompas TV pada awal November tahun lalu.