Artikel - Bersama Megawati di saat-saat sulit, Inilah kisahnya

id PDIP

Artikel - Bersama Megawati di saat-saat sulit, Inilah kisahnya

Bersama Megawati disaat-saat sulit (ANTARA Foto/dok)

PDI ProMega bertahan dalam situasi yang penuh dengan ketidakstabilan politik pada saat itu. "Dengan kepengurusan yang ada, kami terus melakukan konsolidasi partai ke kabupaten-kabupaten di NTT," kata Lebu Raya.
Kupang (ANTARA) - Ketua DPD PDI Perjuangan Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya merasakan betul bagaimana memilih jalan menjadi seorang politisi yang berbeda haluan politik dengan Golongan Karya (Golkar) pada masa Orde Baru saat itu.

Sejak 1996 masuk menjadi bagian dari kader dan PDI Kota Kupang dan dipercayakan menjadi salah satu wakil ketua partai berlambang banteng pada saat itu, Frans Lebu Raya yang pernah menjadi Gubernur NTT dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) merasakan betul betapa sulitnya menjadi seorang politisi yang pro rakyat.

Situasi yang dihadapinya itu tampaknya bertambah sulit saat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pecah pada tahun 1996. Kubu kekuatan Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi menjadi terbelah, ketika kekuatan Orde Baru menghendaki Soerjadi menjadi ketua umum menggantikan putri Presiden RI pertama Bung Karno itu.

Melalui kongres luar biasa (KLB) di Medan, Sumatera Utara, Soerjadi akhirnya terpilih menjadi ketua umum partai menggantikan Megawati Soekarnoputri. Namun, kekuatan politik yang mendukung dan berada di barisan belakang Megawati saat itu begitu kuat, meski tak lagi menjabat sebagai ketua partai. 

Maka lahirlah sebuah kekuatan politik baru yang diberi nama ProMega yang dimotori kekuatan politik yang berada di belakang Megawati Soekarnoputri. Kelompok ProMega ini, kemudian memilih jalan untuk terus bertahan dengan Megawati Soekarnoputri, disaat putri kesayangan penguasa Orde Baru Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau lebih populer dengan sapaan Mbak Tutut itu, sedang naik daun lewat rindangan Pohon Beringin.

Perseteruan politik di antara kedua srikandi itu terus memuncak sampai lahirlah kerusuhan 27 Juli 1996. Peristiwa 27 Juli 1996 sering juga disebut Kudatuli (Kerusuhan dua puluh tujuh Juli) atau Sabtu Kelabu, karena peristiwa berdarah itu memang terjadi pada hari Sabtu.

Peristiwa tersebut terjadi menyusul pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.

Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar. Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.

Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebutkan, 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan. Komnas HAM juga menyimpulkan telah terjadi sejumlah pelanggaran hak asasi manusia.

Dokumen dari Laporan Akhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyebut pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. 

Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya. Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. 

Baca juga: PDIP NTT: Hati kami hanya di ibu Mega

Menyamar
Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Seperti tercatat di dokumen itu, rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Yonif 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.

Kenapa Kudatuli itu sampai terjadi? Presiden Soeharto dan pembantu militernya merekayasa Kongres PDI di Medan dan ingin mendudukkan kembali Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI.

Mimbar bebas yang menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari rakyat pun terjadi.

Pengadilan Koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari, sementara dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.

Di Markas PDI saat itu ada sekitar 300 orang yang berjaga—suatu kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan lalu. Di luar pagar, ada sekitar 50 orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang bermain catur di pinggir pelataran kantor dan juga di Jalan Diponegoro dengan beralaskan terpal.

Sekitar pukul 03.00 WIB, para pendukung Mega mulai mencium sesuatu bakal terjadi, setelah patroli mobil polisi berkali-kali melintas. Sebagian dari mereka mencoba memantau keadaan dari jembatan kereta api Cikini. Sekitar pukul 05.00 WIB, serombongan pasukan berbaju merah, kaus PDI, bergerak menuju Diponegoro 58. Konon mereka diangkut dengan delapan truk.

Pukul 06:15 WIB, pasukan berkaus merah tadi akhirnya sampai di depan Kantor PDI dan kedatangan mereka disambut para pendukung Mega dengan lemparan batu. Pasukan merah tadi pun membalas dengan batu dan lontaran api. Maka, spanduk yang menutupi hampir semua bagian depan Kantor PDI terbakar ludes. Bentrok fisik pun tak terhindarkan. 

Sebuah sumber mengatakan ada 4 orang tewas, tapi angka ini belum dikonfirmasi. Semua jalan menuju ke arah Diponegoro sudah diblokir oleh kesatuan polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai dalam pembangunan jembatan layang Pramuka-Jalan Tambak.

Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Sedang di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.

Wartawan dalam dan luar negeri, yang sedari pagi berkumpul di depan pos polisi, mulai dihalau oleh pasukan anti huru-hara menuju kerumunan massa di depan Bank BII. Saat itu juga terlihat kepulan asap hitam membubung dari DPP PDI. 

Salah seorang satgas PDI pro Mega mengatakan bahwa sebagian Kantor PDI sempat dibakar dan arsip-arsip di dalam kantor sudah dimusnahkan. Korban tewas dari PDI pro Megawati yang berada di DPP diperkirakan empat orang. Sekitar 300 orang luka parah, 50 orang di antaranya dari cabang-cabang Jawa Timur yang tengah berjaga-jaga di Kantor PDI pada saat itu.

Baca juga: Perlu penyegaran kepemimpinan PDIP di NTT

Persaingan Srikandi
Pengacara Megawati, RO Tambunan, berpidato di depan Kantor PDI. Dia mengatakan, "Kita menduduki Kantor DPP karena Megawati adalah pimpinan yang syah. Negara ini adalah negara hukum, jadi tunggu proses hukum selesai," katanya keras. 

Benny S Butarbutar, wartawan Kantor Berita ANTARA pada saat itu menulis buku "Soeyono Bukan Puntung Rokok (2003)", memaparkan Kasus 27 Juli dari perspektif Soeyono yang kala itu menjabat Kepala Staf Umum ABRI. 

Ia membangun teori persaingan srikandi kembar antara Megawati dan Siti Hardijanti Rukmana sebagai latar terjadinya Kasus 27 Juli. Ia juga memaparkan, rivalitas di tubuh tentara yang membuatnya tersingkir dari militer. Soeyono menyebutnya sebagai Killing the Sitting Duck Game, rekayasa untuk "Membunuh Bebek Lumpuh." Sehari sebelum kejadian, Soeyono mengalami kecelakaan di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.

Kisah pilu itu, kemudian melahirkan sebuah partai baru pimpinan Megawati, yakni PDI Perjuangan, meski sebagian daerah di Indonesia, termasuk NTT masih menggunakan istilah ProMega pada awal pembentukannya. 

PDI ProMega di Nusa Tenggara Timur (NTT), kemudian memilih Anton Haba (alm) sebagai ketuanya, dan Frans Lebu Raya yang saat itu menjabat sebagai Direktur Yayasan Masyarakat Sejahtera (Yasmara) sebagai sekretaris partai.  Saat itu, seluruh aktivitas partai menggunakan fasilitas Kantor Yasmara atau kediaman Anton Haba di Kelurahan Kayu Putih Kupang, kata Nikolaus Frans.

Nikolaus Frans saat itu menjabat sebagai sekretaris DPC PDI ProMega untuk Kota Kupang. PDI ProMega di Pemilu 1997 mengajukan calon anggota DPR, tapi tidak pernah dibahas oleh penyelenggara pemilu pada saat itu.  Suasana politik pada saat itu, dilukiskan oleh Frans Lebu Raya sangat keras dan mencekam. 

PDI ProMega bertahan dalam situasi yang penuh dengan ketidakstabilan politik pada saat itu. "Dengan kepengurusan yang ada, kami terus melakukan konsolidasi partai ke kabupaten-kabupaten di NTT," kata Lebu Raya yang sudah 20 tahun memimpin partai itu sejak Konferda pertama di Ende pada tahun 2005.

Selepas Pemilu 1997, terjadi perubahan politik yang sangat dahsyat yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Presiden Soeharto, akhirnya memilih jalan mengundurkan diri akibat desakan para mahasiswa pada saat itu. 

"Saya bangga bisa bersama Ibu Megawati Soekarnoputri di saat-saat sulit. Ketika saya dipercayakan memimpin Kongres PDI Perjuangan selama tiga kali berturut, yakni 2005, 2010 dan 2015, saya berhasil mengantarkan ibu Megawati menjadi Ketua Umum PDIP," kata Lebu Raya.

Lalu, bagaimana dengan Kongres PDI Perjuangan 2019 di Bali pada 8 Agustus 2019? "Saya telah melobi para ketua partai di seluruh Indonesia untuk memilih kembali Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan untuk periode berikutnya," demikian Frans Lebu Raya. 

Baca juga: Kemenangan PDIP di NTT cerminkan perjuangan ideologi partai
Baca juga: Nomleni gantikan Frans Lebu sebagai Ketua DPD PDIP NTT