Artikel - Sengsara apapun, kami tetap mencintai Indonesia

id Jokowi

Artikel - Sengsara apapun, kami tetap mencintai Indonesia

Arti kemerdekaan bagi WNI eks Timor Timur (ANTARA Foto/ist)

"Sengsara apa pun, kami tetap mencintai Indonesia. Tidak pernah terlintas dalam benak pikiran kami untuk melakukan pemberontakan atau menggerakkan orang-orang untuk melawan pemerintah. Indonesia tetap di hati kami"...
Kupang (ANTARA) - Noelbaki, hanyalah sebuah desa kecil di wilayah Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur yang menjadi salah satu basis kehidupan WNI eks Timor Timur.

Mereka memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia setelah Timor Timur meraih kemerdekaannya pada 20 Mei 2002 melalui sebuah referendum pada 30 Agustus 1999.

Sekitar 17 tahun lamanya, pesona kemerdekaan RI itu mereka harus rayakan di kamp-kamp pengungsian Timor Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), karena Timor Timur atau kini disebut Timor Leste, bukan lagi menjadi bagian dari provinsi ke-27 Indonesia.

Permukiman mereka di Noelbaki tampak begitu sempit, namun tidak mengurangi keceriahan mereka untuk tetap tertawa dan bersenda gurau bersama sanak saudara di sekitarnya.

Sejumlah bocah laki-laki tampak bahagia berkejaran dengan sepeda di bawah garangnya matahari timur sambil berteriak: "Merdeka ... merdeka!..." 

"Ini bukti bahwa kami sangat mencintai Indonesia dan Merah Putih," kata Joao Magno de Araujo, veteran Seroja yang dinobatkan sebagai Pembela Kemerdekaan RI oleh mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Edy Sudradjat (1995).

Karena rasa cintanya yang tulus terhadap Indonesia itulah, membuat Joao harus mengambil keputusan untuk membawa semua keluarganya ke Kupang di wilayah Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur untuk tetap menjadi WNI.

"Kami ke sini (Kupang) karena berbeda ideologi politik dengan kelompok prokemerdekaan Timor Timur. Rasa cinta kami terhadap Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih, sulit kami urai dengan kata-kata," katanya.

Sejak 1 September 1999, Joao bersama keluarganya serta ratusan warga Timor Timur lainnya memilih Desa Noelbaki di wilayah Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang sebagai ladang kehidupan terakhir.

"Kami bangun permukiman di sini, di atas sebidang tanah untuk ditempati sampai saat ini bersama warga Timor Timur lainnya," kata Joao.

Hingga saat ini, WNI eks Timor Timur yang mendiami Kamp Noelbaki tercatat sekitar 570 kepala keluarga dari sekitar 5.106 KK yang menyebar di berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur.
Foto Dokumentasi: Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Timtim, Eurico Guterres memberikan orasinya kepada bekas pengungsi Timtim yang berkumpul di pemukiman Desa Oebelo, Kupang Tengah, Jumat (4/9). Acara tersebut dalam rangka peringatan 10 tahun pengungsian ke NTT. (ANTARA FOTO/Key Tokan Asis)
Mencintai Merah Putih
Dinamika kehidupan warga eks pengungsi Timor Timur di Kamp Noelbaki memang masih tampak memprihatinkan meski sudah 20 tahun lamanya mereka tinggal di sana pascajajak pendapat di wilayah bekas koloni Portugis itu.

Hak-hak mereka sebagai warga negara tampaknya masih jauh harapan. "Kami merasa seperti tidak mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Kami tidak punya tanah sehingga sulit untuk berkebun demi kelangsungan hidup keluarga kami di sini," katanya.

Joao yang juga Ketua Komite Nasional Korban Politik Timor Timur, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Kupang itu merasa telah kehilangan masa depan bersama saudara-saudaranya dari Timor Timur yang telah memilih menjadi WNI.

"Kami telah meninggalkan tanah leluhur, kebun, harta benda, serta pusaka adat dan terpisah dari keluarga besar Timor Timur karena rasa cinta kami yang tulus terhadap Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih. Namun, kami tidak pernah mendapat hak yang sama sebagai WNI," katanya.

Kini, sudah 20 tahun lamanya mereka hanya bisa merenda hari-hari untuk menatap dan memaknai Kemerdekaan yang diraih Indonesia 74 tahun yang lalu, dalam kondisi yang serba terbatas.

Ada banyak hal yang mereka lakukan, antara lain dengan menjadi buruh serta tukang bangunan di Kabupaten Kupang untuk mendapat satu dua sen demi kelangsungan hidup.

Jika mereka berkebun pun, hanya menumpang di atas lahan penduduk lokal, kemudian membagi hasil saat panen tiba. Itulah dinamika kehidupan yang dialami WNI eks Timor Timur di Kamp Noelbaki selama 20 tahun berpisah dari tanah kelahirannya.

Kehidupan WNI eks Timor Timur, baik di Desa Noelbaki maupun di sejumlah tempat lainnya di Timor Barat ibarat sedang dihantam gelombang besar saat mereka sedang mengarungi lautan lepas.

"Kami seperti terombang-ambing ibarat kapal di tengah hantaman gelombang di lautan lepas," kata Nyonya Joao menambahkan.

Sementara itu, Calisto da Costa Gomes, anggota Komite Nasonal Korban Politik Timor Timur, mengharapkan ada perubahan sikap dan kebijakan politik pemerintah Indonesia terkait dengan pemberian lahan bagi warga eks Timor Timur di Kamp Noelbaki pada HUT Ke-74 RI.

"Mungkin ini makna kemerdekaan yang lebih berarti bagi kami yang hidup di Kamp Noelbaki saat ini. Meski hidup susah di tanah rantau, kami tetap mencintai Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih sesuai dengan komitmen politik kami," kata Calisto.

"Sengsara apa pun, kami tetap mencintai Indonesia. Tidak pernah terlintas dalam benak pikiran kami untuk melakukan pemberontakan atau menggerakkan orang-orang untuk melawan pemerintah. Indonesia tetap di hati kami," tambahnya.
Salah satu mantan pengungsi Timor Timur Jose Soares II (56) yang menghuni Dusun Rotiklot RT16 dan 17 RW O8 Desa Fatuketi Kecamatan Kakuluk Mesak Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur, Kamis (13/12). Saat ini sebanyak 125 kepala keluarga atau 450 jiwa termasuk 55 KK eks pengungsi Timtim tidak akan kesulitan mendapatkan air baku dan pengairan untuk pertanian karena keberadaan Bendungan Rotiklot. (ANTARA FOTO/Taufik Ridwan).
Dukungan PBB
Pada 30 Agustus 1999 secara resmi Provinsi Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia. Selanjutnya 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara Timor Leste dengan dukungan penuh dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mayoritas warga Timor Leste pun pindah kewarganegaraan dan melepaskan status kewarganegaraan Indonesia. Namun, tidak sedikit warga Timor Leste yang memilih bertahan dan menetap di Indonesia, akibat rasa cintanya yang dalam terhadap NKRI.

"Indonesia itu sudah ada di hati kami, jadi saya lebih memilih menjadi WNI. Di sini saya merasakan kenyamanan dan aman, tingkat kesejahteraannya juga lebih baik. Sedangkan di sana, selalu ada konflik,” ujar Alexander da Costa (48).

Meskipun sudah beda kewarganegaraan, Alexander tetap menjalin komunikasi dengan keluarganya di Timor Leste. Namun, dia hanya bisa memendam rasa rindunya di dalam hati, karena niatnya untuk bertemu keluarga belum kesampaian juga.

Belajar dari perjuangan rakyat Timor Leste, jika ada yang mencoba memecahbelahkan rakyat dan meruntuhkan ideologi bangsa Indonesia karena perbedaan politik, agama dan lain sebagainya, perlu mempertahankan secara baik. 

Pancasila berhadapan dengan kebhinekaan yang ada di Nusantara ini sudah mampu merangkul semua orang menjadi satu kesatuan. Rekonsiliasi hati bisa menjadi langkah yang baik untuk menghangatkan situasi panas yang ada di NKRI. 

"Tetaplah jaya Indonesia. Merdeka selalu Timor Leste," demikian Pater Hiasintus Ikun CFM, Claretian Indonesia-Timor Leste dalam Kisah, Karya dan Titian Harapan.
Presiden Joko Widodo memberi hormat saat pengibaran Bendera Merah Putih dalam Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi 17 Agustus di Halaman Istana Merdeka, dan montase Presiden Soekarno saat pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat. (ANTARA FOTO/IPPHOS/1945/am).