Produk coklat BUMDes Kobar terus diperluas pasarnya

id BUMDes Kobar

Produk coklat BUMDes Kobar terus diperluas pasarnya

Produk coklat yang dihasilkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kobar di Desa Kotawuji Barat, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. (ANTARA FOTO/HO-BUMDes Kobar

"Produk coklat BUMDes Kobar saat ini sudah bagus, kualitas dan kemasannya sudah oke, namun pasarnya  terus kami dorong agar tidak hanya di Flores," kata Sinun Petrus Manuk
Kupang (ANTARA) - Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sinun Petrus Manuk berjanji akan terus mendorong perluasan pasar produk coklat yang dihasilkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kobar di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores.

"Produk coklat BUMDes Kobar saat ini sudah bagus, kualitas dan kemasannya sudah oke, namun pasarnya  terus kami dorong agar lebih luas karena sejauh ini hanya di sekitar Pulau Flores," katanya kepada ANTARA di Kupang, Sabtu (21/9).

Dia mengatakan, pihaknya menginginkan produk Coklat Kobar yang sudah menyerupai produk coklat siap disajikan dari merek terkenal lainnya dapat masuk ke pasar modern pada kota-kota di provinsi setempat.

Untuk itu, dia telah meminta pengelola BUMDes tersebut  menambah variasi produk coklat yang saat ini hanya ada satu jenis berupa lempengan besar yang dijual seharga Rp18.000 per buah.

"Perlu ada variasi pilihan produk lain yang dihasilkan misalnya dengan ukuran lebih kecil dengan harga di bawah Rp10.000 sehingga mudah dijangkau konsumen," katanya.

Baca juga: NTT fokus perluas pasar coklat produksi Bumdes di Flores

Ia menambahkan selain itu juga lebih mudah dijual di sekolah, perkantoran, warung, dan pasar-pasar.

Sinun Petrus menjelaskan, dari hasil peninjauan langsung, pihaknya mendapati bahwa kendala produksi coklat yang masih dialami BUMDes tersebut berupa kurangnya mesin produksi yang saat ini hanya satu unit.

Menurutnya, keterbatasan ini yang membuat hasil komoditi kakao yang bisa diolah menjadi produk coklat hanya bisa mencapai enam ton dari jumlah yang dihasilkan dalam sekali panen sekitar 12 ton.

"Jadi sisanya hanya dijual gelondongan karena mesin produksi yang terbatas sehingga ini juga bisa berdampak membuat harga coklat tidak stabil di sana," katanya.

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah provinsi sedang mengkaji proposal bantuan mesin yang sudah diajukan BUMDes tersebut dengan harga sekitar Rp400 juta per unit.

"Kami berharap tahun 2020 ada intervensi bantuan dari pemerintah provinsi sehingga produksi mereka bisa maksimal dan bisa dipasarkan ke mana-mana," katanya.

Ia menambahkan, selain itu ia berharap agar bantuan mesin produksi juga dapat diintervensi melalui dana desa dari pemerintah desa setempat.

Baca juga: Pemerintah gelar operasi pengendalian hama wereng coklat