Tumpang tindih kepentingan jadi soal dalam Pemilu serentak

id Pemilu serentak

Tumpang tindih kepentingan jadi soal dalam Pemilu serentak

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr Johanes Tuba Helan. (ANTARA FOTO/Bernadus Tokan)

Diduga adanya tumpang tindih kepentingan dalam pelaksanaan sistem pemilihan umum (Pemilu) secara serentak terutama dalam pelaksanaan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif.
Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum tata negara Dr Johanes Tuba Helan menduga adanya tumpang tindih kepentingan dalam pelaksanaan sistem pemilihan umum (Pemilu) secara serentak terutama dalam pelaksanaan kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif.

"Kepentingan antapartai politik tentu akan saling tumpang tindih dalam Pemilu serentak, karena mereka turun kampanye membawa dua misi untuk memenangkan calon presiden, di sisi lain bersaing memenangkan calon legislatif yang diusung masing-masing," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat (28/2).

Dia mengemukakan pandangan itu berkait seputar konsekuensi pelaksanaan sistem Pemilu serentak untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi.

Dia mengatakan, dalam Pemilu serentak masing-masing partai politik sudah pasti akan berjuang memenangkan calon-calon legislatif yang diusung. Sedang pada sisi lain, mereka berkoalisi untuk memenangkan calon presiden-wakil presiden.

"Mungkin saja tiga atau empat partai bisa berkoalisi untuk mendukung calon presiden-wakil presiden, ini jadi persoalan besar juga karena mereka turun kampanye membawa dua misi yang tidak sejalan," katanya.

Baca juga: KPU Kota Kupang masih menunggu petunjuk dari Jakarta
Baca juga: Perlu penyederhanaan aturan dalam Pemilu serentak


Untuk itu, menurut dia, jalan keluar terbaik adalah kembali pada amendemen UU 1945 yang mana sudah mengatur secara tegas bahwa pemilihan presiden-wakil presiden dan legislatif dipisahkan.

Pemilihan legislatif dilakukan terlebih dahulu, setelah itu partai politik mencalonkan presiden-wakil presiden untuk bertarung dalam Pilpres, katanya.

Dosen pada Fakultas Hukum di Undana Kupang itu mengatakan, dalam rumusan aturan terkait Pemilu saat ini yakni Pemilu dilakukan sekali dalam lima tahun.

"Orang mengartikan sekali itu hanya satu kali serempak, tetapi menurut pemahaman saya dari rumusan konstitusi itu bahwa sekali itu berarti periodisasi bahwa pemilihan legislatif itu sekali dalam lima tahun, demikian juga Pilpres," katanya.

"Artinya tidak boleh setelah Pemilu 2019, dilakukan lagi pada 2022, kemudian juga pada 2024. Jadi selama belum habis periode lima tahun tidak boleh ada Pemilu lagi," kata mantan Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB-NTT itu.

Baca juga: Pakar hukum setuju masa jabatan DPR dibatasi
Baca juga: Kata Ahmad Atang, putusan MK soal eks napi koruptor kontraproduktif