Pemda Harus Diberi Ruang Kelola Perbatasan

id perbatasan

Pemda Harus Diberi Ruang Kelola Perbatasan

Gabriel Manek, anggota Komisi I DPRD Nusa Tenggara Timur dari Fraksi Partai Golkar

Pemerintah Provinsi NTT dan sejumlah kabupaten di daerah ini yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negara lain, sebaiknya diberi ruang untuk kelola wilayah perbatasannya sendiri.
Kupang (Antara NTT) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan sejumlah kabupaten di daerah ini yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negara lain, sebaiknya diberi ruang untuk kelola wilayah perbatasannya sendiri.

"Pemerintah pusat sudah saatnya menyerahkan urusan tersebut kepada daerah untuk mengelola wilayah perbatasannya sendiri sesuai kewenangan yang ada," kata Gabriel Manek, anggota Komisi I DPRD NTT dari Fraksi Golkar di Kupang, Sabtu.

Mantan Bupati Timor Tengah Utara itu menambahkan jika wilayah perbatasan antarnegara hanya dikelola pusat maka jangkauan pelayanan pun akan bertambah jauh sebagaimana diamantkan dalam UU.

Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Daerah Perbatasan Negara merupakan kewenangan pusat, sehingga pemerintah daerah terkesan apatis untuk mengelola wilayah perbatasannya dengan baik.

"Urusan wilayah di sepanjang garis perbatasan dengan komponen masyarakat sekitarnya sepenuhnya menjadi kewenangan pusat," katanya dan mengharapkan agar UU tentang perbatasan perlu segera direvisi.

Menurut dia, revisi UU Perbatasan tersebut lebih menekankan pada peran dan tanggungjawab pemerintah daerah yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negara lain agar mengatur dan mengurus wilayah perbatasannya sendiri.

Jadi, menurut dia, fungsi dan peran dari pemerintah pusat itu lebih bersifat koordinasi, bukan sebagai pemain tunggal dalam mengelola wilayah perbatasan.

Karena keterbatasan wewenang itulah, maka langkah pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan di perbatasan seperti konflik menjadi tidak berjalan, karena harus menunggu dari pusat.

"Pemerintah daerah menjadi tidak berdaya jika menghadapi konflik tapal batas antarnegara, baik antara Indonesia dengan Timor Leste maupun dengan Australia terkait dengan batas wilayah perairan kedua negara," ujarnya.

Bupati Timor Tengah Utara periode 2005-2010 itu juga melihat masih tumpang tindihnya pembagian batas wilayah perairan antara Indonesia, Timor Leste dan Australia, setelah Timor Timur lepas menjadi sebuah negara merdeka pada 2002 pascajajak pendapat pada Agustus 1999.

"Saya berpikir masalah perbatasan laut antara ketiga negara harus dirundingkan kembali dengan merujuk pada ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang median line (garis tengah)," ujarnya.

Menurut dia, jika hal ini tidak dilakukan maka para nelayan Indonesia yang mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan Laut Timor akan menjadi bulan-bulanan pihak otoritas Australia.

"Banyak tudingan kepada nelayan kita oleh pihak Australia dengan tuduhan melanggar wilayah perairan mereka secara ilegal, padahal nelayan kita masih mencari ikan di wilayah perairan Indonesia di Laut Timor," ujarnya.

Gabriel Manek menyebut, saat ini masih terdapat tujuh titik wilayah batas negara di Kabupaten Timor Tengah Utara dan satu segmen di Naktuka, Kabupaten Kupang dengan Timor Leste yang belum terselesaikan hingga saat ini.

"Ada banyak saran dan masukan dari para pengamat daerah ini terkait dengan proses penyelesaiannya, seperti melalui jalur adat dan budaya, namun karena urusan tersebut merupakan wewenangnya pemerintah pusat, maka hal itu menjadi sulit untuk dilaksanakan," katanya.

Atas dasar itu, ia berharap agar UU Perbatasan perlu dikaji kembali dengan memberi wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengelola wilayah perbatasannya sendiri, sedang fungsi dan peran pemerintah pusat hanyalah sebagai koordinator dan mediator antarpemerintahan.