Makna Kemerdekaan Bagi Warga Eks Timtim

id Timtim

Makna Kemerdekaan Bagi Warga Eks Timtim

Joao Magno de Araujo (kiri) dan Calisto da Costa Gomes

"Sengsara apa pun, kami tetap mencintai Indonesia. Tidak pernah terlintas dalam benak pikiran kami untuk melakukan pemberontakan atau menggerakkan orang-orang untuk melawan pemerintah," kata da Costa.
Perumahan warga eks pengungsi Timor Timur di kamp Desa Noelbaki RT 009/RW 003 tampak lengang. Kawasan di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu penuh dengan umbul-umbul dan bendera Merah Putih.

Hampir semua rumah warga eks pengungsi Timor Timur yang masih berdinding bebak (pelepah palem hutan) dan tripleks bekas itu, tidak ada satu pun yang ketinggalan memasang bendera Merah Putih dan umbul-umbul sebagai simbol perayaan HUT Ke-72 Kemerdekaan RI.

Permukiman mereka tampak begitu sempit. Namun, tidak mengurangi keceriahan mereka untuk tetap tertawa bersenda gurau bersama sanak saudara di sekitarnya.

Beberapa bocah laki-laki tampak bahagia berkejaran dengan sepeda di bawah garangnya matahari timur sambil berteriak: "Merdeka ... merdeka!"

"Ini bukti bahwa kami sangat mencintai Indonesia dan Merah Putih," kata Joao Magno de Araujo, veteran Seroja yang dinobatkan sebagai Pembela Kemerdekaan RI oleh mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Edy Sudradjat (1995).

Karena rasa cintanya yang tulus terhadap Indonesia itulah, kemudian membuat Joao harus mengambil keputusan untuk membawa semua keluarganya ke Kupang di wilayah Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur untuk tetap menjadi WNI pascajajak pendapat pada bulan Agustus 1999.

"Kami ke sini (Kupang) karena berbeda ideologi politik dengan kelompok prokemerdekaan Timor Timur. Rasa cinta kami terhadap Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih, sulit kami urai dengan kata-kata," katanya.

Saat bertemu dengan Antara di kamp Desa Noelbaki, veteran Seroja ini baru pulang mengikuti upacara kenegaraan pengibaran bendera Merah Putih di alun-alun rumah jabatan Gubernur NTT, Kupang, Kamis (17/8).

"Saya baru pulang mengikuti upacara kemerdekaan 17 Agustus di alun-alun gubernuran. Kita satu bangsa, maka kita juga diundang untuk mengikuti peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan," katanya.

Sejak 1 September 1999, dia bersama keluarganya serta ratusan warga Timor Timur lainnya menempati Kamp Noelbaki, Kecamatan Kupang Tengah.

"Kami bangun permukiman kami di atas sebidang tanah untuk ditempati sampai saat ini bersama warga Timor Timur lainnya," katanya.

Saat ini, warga eks pengungsi Timor Timur yang mendiami Kamp Noelbaki tercatat sekitar 570 kepala keluarga dari sekitar 5.106 KK yang menyebar di berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur.

Dinamika kehidupan warga eks pengungsi Timor Timur di Kamp Noelbaki memang masih tampak memprihatinkan meski sudah 18 tahun lamanya mereka tinggal di sana pascajajak pendapat di wilayah bekas koloni Portugis itu.

Hak-hak mereka sebagai warga negara tampaknya masih jauh harapan. "Kami merasa seperti tidak mendapat hak yang sama sebagai warga negara. Kami tidak punya tanah sehingga sulit untuk berkebun demi kelangsungan hidup keluarga kami," katanya.

Ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Kupang pada bulan September 1999, pemerintah pernah menjanjikan akan memberikan lahan yang mumpuni agar mereka bisa berkebun dan membangun rumah di atasnya.

Namun, janji tersebut tampaknya tidak pernah dipenuhi sehingga membuat mereka tetap hidup apa adanya. Joao dan warga eks Timor Timur lainnya tidak meminta yang banyak dari pemerintah Indonesia, tetapi hanya sebidang tanah yang mumpuni agar mereka bisa berkebun dan membangun rumah layak huni di atasnya.

Joao yang juga Ketua Komite Nasional Korban Politik Timor Timur, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kabupaten Kupang itu merasa telah kehilangan masa depan bersama saudara-saudaranya dari Timor Timur yang telah memilih menjadi WNI.

"Kami telah meninggalkan tanah leluhur, kebun, harta benda, serta pusaka adat dan terpisah dari keluarga besar Timor Timur karena rasa cinta kami yang tulus terhadap Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih. Namun, kami tidak pernah mendapat hak yang sama sebagai WNI," katanya.

Apa yang mereka lakukan untuk menyambung hidup selama 18 tahun di Kamp Noelbaki? Ada banyak hal yang mereka lakukan, antara lain, menjadi buruh serta tukang bangunan di Kabupaten Kupang untuk mendapat satu dua sen demi kelangsungan hidup.

Jika mereka berkebun pun, hanya menumpang di atas lahan penduduk lokal, kemudian membagi hasil saat panen tiba. Itulah dinamika kehidupan yang dialami warga eks Timor Timur di Kamp Noelbaki selama 18 tahun menjadi bagian dari Indonesia.

Bagi Joao dan ratusan kepala keluarga lainnya di sana, makna Tanah Air Indonesia itu rupanya hanya air yang menyentuh kehidupan mereka sehari-hari. Namun, tanah yang tampaknya menjadi masalah utama yang mereka hadapi selama ini.

"Kami sudah nikmati air karena sumber air ada di mana-mana. Namun, tanah sulit bagi kami untuk mendapatkannya. Kami tinggal saat ini di atas tanah pemerintah sehingga suatu saat nanti mereka bisa rebut kembali. Inilah sumber kekhawatiran kami selama ini," kata Joao.

Kekhawatiran Joao tampaknya cukup beralasan karena tidak ada landasan hukum yang menguatkan mereka untuk memiliki lahan tersebut. Ada satu hal yang menjadi rintihan hidupnya selama ini soal masa depan anak cucu mereka di Kamp Noelbaki ketika lahan tersebut direbut kembali oleh Pemerintah.

Joao dan ratusan kepala keluarga eks Timor Timur lainnya merasa berat untuk kembali ke kampung halamannya di Timor Leste karena pemerintahan di negara baru itu tampaknya tidak mau menerima kehadiran mereka kembali sebagai warga negara di wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu.

Seandainya mereka kembali (ke Timor Leste), status yang mereka sandang pun tetap pengungsi. "Kami seperti terombang-ambing ibarat kapal di tengah hantaman gelombang lautan lepas," kata Nyonya Joao menambahkan.

Calisto da Costa Gomes, anggota Komite Nasonal Korban Politik Timor Timur, mengharapkan ada perubahan sikap dan kebijakan politik pemerintah Indonesia terkait dengan pemberian lahan bagi warga eks Timor Timur di Kamp Noelbaki pada HUT Ke-72 RI.

"Mungkin ini makna kemerdekaan yang lebih berarti bagi kami yang hidup di Kamp Noelbaki saat ini. Jika sampai mendapatkan lahan yang sifatnya permanen dari pemerintah sebagaimana yang dijanjikan pada 18 tahun yang silam saat kami tiba di Kupang," kata da Costa.

Meski hidup susah di tanah rantau, Joao dan da Costa serta ratusan warga eks pengungsi Timor Timur lainnya tetap mencinta Indonesia, Pancasila, dan Merah Putih sesuai dengan komitmen politik mereka.

"Sengsara apa pun, kami tetap mencintai Indonesia. Tidak pernah terlintas dalam benak pikiran kami untuk melakukan pemberontakan atau menggerakkan orang-orang untuk melawan pemerintah. Indonesia tetap di hati kami," kata da Costa.