Hutan Primer Sumba Terus Menyusut

id Walhi

Hutan Primer Sumba Terus Menyusut

Direktur Eksekutif Wahli NTT Umbu Wulang Tanaamahu.(dok)

"Penyusutan hutan primer yang merupakan hutan berumur lanjut yang memiliki sifat-sifat ekologis yang unik itu membuat keberagaman pangan lokal di Sumba pun terus-menerus merosot," kata Umbu Wulang kepada Antara di Kupang, Rabu, (4/10).

Kupang,  (Antara NTT) - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Wahli) Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamahu mengatakan kondisi hutan primer di Pulau Sumba terus-menerus menyusut dan tercatat hingga saat ini tidak sampai lima persen.


"Penyusutan hutan primer yang merupakan hutan berumur lanjut yang memiliki sifat-sifat ekologis yang unik itu membuat keberagaman pangan lokal di Sumba pun terus-menerus merosot," kata Umbu Wulang kepada Antara di Kupang, Rabu, (4/10).


Badan Planologi Nasional menyampaikan bahwa sekitar 90 tahun silam atau tahun 1927, kondisi hutan primer di Pulau Sumba mencapai 54 persen dari luas daratan lebih dari satu juta hektare, namun sekarang sudah tidak mencapai hingga lima persen.


Menurutnya, kondisi itu membuat Pulau Sumba rentan dihadapkan kepada kondisi rawan pangan karena salah satu sumber karbohidrat dan protein warga Sumba dari dulu yang banyak berada di hutan.


Selain itu, lanjutnya, penyusutan itu berdampak pula pada berkurangnya ketersediaan bahan sandang seperti pewarna alam dan ikat pinggang khas Sumba.


Lebih lanjut, Umbu Wulang menjelaskan kondisi luas padang alang-alang di pulau yang terkenal dengan sebutan "Tanah Humba" itu pun semakin berkurang akibat aktivitas pembakaran lahan.


Hasil penelitian Wahli NTT mencatat saat ini tinggal 10-15 persen rumah penduduk di daerah itu yang menggunakan alang-alang sebagai atap rumah. "Alasan yang dikemukakan warga setempat adalah secara sosial ekonomi, penggunaan alang-alang dianggap miskin atau kelas dua," katanya menjelaskan.


Dalam konteks itu, menurutnya, telah terjadi moderenisasi gaya hidup yang tidak berpijak pada daya dukung pulau yang mengakibatkan ekonomi antara masyarakat Sumba dan padang menjadi hilang.


Ia mengatakan aktivitas pembakaran padang terus meningkat dari tahun ke tahun. Untuk itu ia berharap pemerintah daerah di empat kabupaten daratan Sumba dapat memahami konteks permasalahan yang terjadi dan menangani secara tegas.


"Seolah-olah pemerintah kalah dengan pembakar padang, padahal dampak lain dari juga membuat populasi burung padang yang menjadi kekhasan alam kian menyusut," katanya.


Menurutnya, jika pemerintah daerah mengembangkan sektor pariwisata menjadi unggulan yang berbasis pada ekowisata maka kelestarian alam menjadi kunci utamanya.


"Misalnya bagaimana mungkin kegiatan pariwisata untuk menikmati rumah khas Humba kalau banyak yang malu membuat rumah beratapkan alang-alang, bahkan alang-alang pun sudah seperti barang langka yang sulit didapat," katanya.