Kandungan Ubi Putak Lebih Tinggi Dari Beras

id Hadji Husein

Kandungan Ubi Putak Lebih Tinggi Dari Beras

Warga tengah membersihkan Putak atau Ubi Hutan agar bisa dikonsumsi. (Foto ilustrasi)

"Ubi putak itu, zat lemaknya 11 persen dibanding beras yang hanya 9 persen. Karbohidrat di bawah beras, 76 persen, sementara beras 90 persen,"
Kupang, (AntaraNTT) - Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Hadji Husen mengatakan, kandungan lemak ubi putak lebih tinggi dari beras.

"Ubi putak itu, zat lemaknya 11 persen dibanding beras yang hanya 9 persen. Karbohidrat di bawah beras, 76 persen, sementara beras 90 persen," kata Hadji Husen kepada wartawan di Kupang, Senin, terkait pro dan kontra seputar ubi putak.

Para penduduk di pedalaman Pulau Sumba dan Timor serta Pulau Flores, pada musim tertentu selalu mencari ubi hutan (ubi putak) sebagai pengganti pangan sehari-hari.

Konsumsi putak ini kemudian dianggap berbagai kalangan sebagai pangan tidak layak untuk dikonsumsi manusia dan bertanda penduduk sedang mengalami kelaparan.

Hadji Husen menambahkan, mengkonsumsi ubi putak justeru baik untuk kesehatan.

"Beras itu gula darah bisa naik, sementara putak dan umbian itu rendah dan bisa menekan gula darah," katanya menjelaskan.

Karena itu, pihaknya justeru terus berupaya mengkampanyekan kelebihan dan keunggulan dari pangan lokal tersebut agar tetap dikonsumsi oleh masyarakat.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya secara terpisah mengatakan, nantinya putak akan menjadi makanan langkah. Karenanya putak harus terus dilestarilan dan diolah menjadi berbagai pangan yang enak dan menarik.

"Saya kalau ke SoE dan ke Malaka, di Pulau Timur, saya selalu minta supaya putak yang disajikan," kata Lebu Raya.

Lebu Raya mengatakan, putak adalah cadangan pangan lokal yang tersedia di masyarakat yang sesewaktu dikonsumsi. Dan saat ini putak sudah bisa diolah dengan baik, bisa dibuatkan kue dan pangan macam-macam.

Dia mengatakan, banyak pandangan orang yang salah bahwa ketika makan putak itu artinya orang kelaparan. Pandangan seperti itu keliru dan orang itu tidak mengerti.

"Sama seperti pandangan orang bahwa makan ubi hutan itu artinya miskin. Itu tidak benar. Karena tradisi budaya di masyarakat tertentu, memanen ubi hutan itu ada waktunya, Ada cerita di Sikka itu memang tradisi budaya yang setiap tahun mereka harus panen," katanya.

"Kalau ada masalah adat, mereka belum boleh konsumsi ubi hutan itu. Seperti itu keluarga dan anak yang meninggal itu bukan karena dia makan ubi hutan, tapi karena keluarga itu belum boleh makan ubi hutan karena ada masalah adat yang belum terselesaikan," kata Lebu Raya.