AMR Berpotensi Jadi Pembunuh Nomor Satu

id AMR

AMR Berpotensi Jadi Pembunuh Nomor Satu

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Undana drh Maxs Sanam berjabatan tangan dengan sejumlah pembicara dalam seminar nasional bertemakan "Penggunaan Obat Hewan Secara Tepat dan Benar Menuju Manusyamriga Sewaka" di Kupang. (Foto Antara/Kornelis Kaha)

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian memprediksi Anti Microbial Resistance (AMR) berpotensi menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050 mendatang.
Kupang (Antara NTT) - Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian  memprediksi Anti Microbial Resistance (AMR) berpotensi menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050 mendatang.

"Hal itu diperparah dengan lambannya penemuan dan pengembangan antimikroba baru dari bakteri yang menjadi resisten kelalaian dalam penggunaan obat serta takaran," kata Kepala Seksi Monitoring dan Surveilans Ditjen Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementerian Pertanian Dr Imron Suwandy di Kupang, Sabtu.

Dalam Seminar Nasional Mahasiswa ke-3 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, dia mengatakan seandainya tidak ada upaya global dalam mengendalikan resistensi tersebut, maka diperkirakan sekitar 10 juta orang meninggal setiap tahun akibat resistensi antimikroba.

Seminar tersebut bertujuan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai isu-isu penggunaan obat hewan, terutama yang terkait dengan resistensi antimikroba.

AMR sendiri dalam dunia medis diartikan telah terjadinya kekebalan terhadap penggunaan obat antibiotik (resistensi) yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar dalam layanan kesehatan.

"Upaya global termasuk Indonesia mengendalikan resistensi antimikroba sudah dirilis sejak 2016. Salah satu strateginya peningkatan pemahaman mengenai penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggungjawab," ujarnya.

Bahkan, menurutnya, lembaga-lembaga kesehatan dunia seperti WHO dan FAO juga sudah mempunyai rencana untuk mencegah meluasnya AMR tersebut di dunia.

Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan drh Sri Mukartini menilai bahwa persoalan timbul karena antibiotik tidak hanya digunakan oleh manusia, tetapi juga dimasukan dalam pakan ternak.

"Kami khawatir dengan penggunakan antibiotik di pakan ternak, akan semakin banyak bakteri yang menjadi resisten sehingga tentu ada dampaknya kepada manusia," ujar Sri yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut.

Menurutnya pemberian antibiotik kepada ternak akan berdampak terhadap adanya residu atau sisa obat yang tertinggal di dalam jaringan otot. Hal ini akan berdampak terhadap kesehatan manusia.

Sementara itu Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Undana drh Maxs Sanam mengatakan sesuai peraturan pemerintah, penggunaan antibiotics growth promoter (AGP) di pakan harus dihentikan pada Januari 2018.

Karena itu, produsen pakan maupun pengelola kesehatan hewan dan pangan perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi resistensi antibiotik, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan laju pertumbuhan hewan.

"Kita berharap agar sejumlah mahasiswa kita ini nantinya dapat menggunakan dengan baik AMR tersebut agar kelak tidak berdampak kepada manusia," demikian Maxs.

Seminar tersebut diikuti 238 mahasiswa dan dosen dari Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Pertanian, dan Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur.