Kisah guru bergaji Rp300.000 di Sumba

id Sumba

Kisah guru bergaji Rp300.000 di Sumba

Kepala Dinas Pendidikan Sumba Timur, Yusuf Waluwanja (kiri) dan Comunication Manager Program Inovasi Stephanie Carter saat memberikan materi di Waingapu, Sumba Timur. (Foto ANTARA/Kornelis Kaha)

"Jangankan Rp300.000 per bulan. Honor dengan Rp50.000 per bulan juga masih ada, tetapi paling hanya sekitar satu atau dua orang saja," kata Kepala Dinas Pendidikan Sumba Timur Yusuf Wulawanja.
Kupang (AntaraNews NTT) - Masalah kesejahteraan guru honorer yang mengajar di wilayah terpencil Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga kini masih menjadi sorotan sejumlah media, baik lokal maupun nasional.

Padahal, sejatinya pemerintah pusat sudah mengalokasikan anggaran yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan para guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) itu.

Mardiana Juana Poduloya, seorang guru honorer di SD Masehi Kapunduk, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, NTT, ini sudah mengabdi di sekolah itu lebih dari 13 tahun.

Namun, gaji guru wanita berusia 31 tahun ini hanya mencapai Rp300 ribu per bulan yang tentu saja jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mardiana hanya tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) di salah satu sekolah negeri di Kota Waingpau.

Usai menamatkan sekolahnya, ia tak mampu melanjutkan kuliah karena masalah ekonomi keluarga, sehingga hanya bekerja membantu orang tuanya dengan berjualan.

Setelah menikah, Mardiana berusaha mencari kerja untuk membantu perekonomian keluarga, karena suaminya hanyalah seorang buruh kasar yang bekerja secara serabutan. "Saat ada tawaran dari sekolah itu dan membutuhkan guru untuk mengajar di kelas 1, saya langsung terima," kisahnya.

Demi membantu suaminya dan menafkahi anaknya berjumlah dua orang dan salah satunya sudah sekolah, ia pun berusaha mengajar walaupun tak semahir guru-guru lain yang memang sudah berpengalaman mengajar.

Lima tahun pertama mengajar, Mardiana sempat merasa jenuh dan merasa bahwa gajinya tak mencukupi karena salah satu anaknya harus masuk sekolah juga.

Namun, semangat menyampaikan ilmu kepada anak-anak membuat dia memutuskan tetap mengabdi di sekolah tersebut walaupun dengan honor yang sangat rendah.

Salah seorang kawannya menyarankan agar Mardiana meneruskan kuliah untuk mendapatkan ijazah S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah tempatnya mengajar.

Bermodalkan gaji yang pas-pasan dan gaji dari suami yang juga pas-pasan serta hasil tabungannya, Mardiana pun mendaftarkan diri jadi mahasiswa dengan jurusan PGSD namun dengan sistem jarak jauh pada 2006 dan bisa diselesaikannya pada 2013.

Setelah sekitar lima tahun berpredikat sebagai sarjana S1, nasib Mardiana ternyata belum berubah. Hingga kini, dia hanya bisa pasrah karena belum mendapatkan kesempatan untuk diangkat menjadi PNS.

Kisah lainnya datang dari Kartini, guru yang sudah mengajar sejak 2005 namun hingga kini masih bergaji Rp550 ribu per bulan.

"Gaji sebesar itu sudah saya dapatkan sejak 2005. Tentu saja masih sangat kurang karena saya juga harus kuliah lagi mengambil jurusan PGSD dengan biaya per bulan sebesar Rp750.000," ujarnya.

Kartini kini sudah berusia 32 tahun. Wanita ini berharap agar pemerintah daerah setempat mendengarkan keluhan para guru honorer di Sumba Timur.

Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan kebutuhan hidup sehari-hari, Kartini harus mencari pemasukan lain dengan cara berjualan kue di rumahnya, usai jam pelajaran sekolah. "Lumayan bisa menambah pemasukan," ujarnya sambil tersipu malu.

Berbagai usaha untuk menambah penghasilan keluarga memang harus dilakukan Kartini untuk membiayai hidup dari empat orang anaknya, karena sang suami hanya bekerja sebagai buruh pelabuhan, yang penghasilannya tidak menentu.

Baik Mardiana dan Kartini mempunyai harapan yang sama yakni bisa secepatnya diterima menjadi PNS di sekolah tempat ia mengajar, karena itu merupakan satu-satunya harapan untuk bisa meningkatkan kehidupan perekonomian keluarga

Minim Pengalaman
Masalah pendidikan di wilayah 3T memang cukup kompleks, antara lain sumber daya manusia (SDM) terutama guru yang masih kurang memadai. Di banyak sekolah di wilayah terpencil masih banyak yang memiliki guru honorer yang awalnya memang direkrut seadanya tanpa syarat yang ketat, bahkan tak mempunyai pengalaman mengajar yang memadai.

Hal inilah yang kemudian berujung pada kualitas pendidikan yang tidak bagus, sebab seorang guru tentu saja dituntut untuk kreatif agar anak didiknya bisa lebih proaktif di sekolah. Program Kurikulum 2013 (K-13) yang sudah diterapkan oleh pemerintah menurut sejumlah guru di Sumba Timur, belum mampu diterapkan.

"Sampai saat ini saya masih kurang memahami cara penilaian dengan memakai Kurikulum 2013," kata salah seorang guru SD di kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Yuli S. Yuli sendiri adalah guru SD di daerah tersebut yang sudah bekerja menjadi guru honorer sejak 2015. Ia menjadi wali kelas di sekolah tersebut.

Di samping belum mampu menerapkan K-13, Yuli mengaku belum mampu mengelola kelas dengan baik ketika anak-anak ribut. "Saya juga jarang membuat media sendiri yang bisa mengefektifkan pembelajaran," tambahnya.

Kreativitas guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran memang menjadi hal penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan peserta didik. Contoh sederhana adalah apersepsi atau awalan mengajar yang biasa dilakukan guru untuk membangkitkan minat dan semangat anak dalam menerima materi pelajaran.

"Saya sering kali tidak melakukan apersepsi atau awalan mengajar, tetapi langsung masuk ke pembelajaran inti. Padahal, apersepsi itu penting untuk mengingat kembali pembelajaran sebelumnya," ujar Yuli.

Hal tersebut disebabkan dirinya belum memahami secara benar bagaimana mengajar secara efektif yang membuat anak bisa cepat memahami materi pelajaran yang diajarkan.

Perhatian Pemda
Di sisi lain, masalah gaji guru honorer yang sangat rendah tentu menjadi sebuah cambuk berduri bagi pemda setempat khususnya dinas pendidikan Kabupaten Sumba Timur.

Pemerintah Kabupaten Sumba Timur mengakui masih banyak guru honorer yang sudah bekerja selama 10 tahun yang bergaji rendah dan belum diangkat sebagai PNS.

"Jangankan Rp300.000 per bulan. Honor dengan Rp50.000 per bulan juga masih ada, tetapi paling hanya sekitar satu atau dua orang saja," kata Kepala Dinas Pendidikan Sumba Timur Yusuf Wulawanja.

Ia mengatakan bahwa dengan gaji per bulan yang hanya mencapai Rp50.000 tentu saja tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup para guru tersebut.

Menurut dia, guru-guru tersebut mengabdi di sekolah-sekolah pararel. Oleh karena itu, gaji yang diperoleh juga dari dana BOS serta bantuan dari pemerintah desa tempat para guru mengajar.

Selain dana BOS, ada bantuan juga dari pemerintah desa kepada para guru yang gajinya minim itu sehingga sedikit demi sedikit bisa membantu. Namun, pada umumnya gaji para guru honorer di Sumba Timur sudah dibilang di atas Rp50.000 yakni berkisar antara Rp300.000 sampai Rp500.000 per bulan.

Untuk memperhatikan nasib para guru setempat agar bisa diangkat menjadi PNS, pemda setempat kemudian membiayai kuliah PGSD bagi sekitar 350 guru honorer di daerah itu, khusus bagi mereka yang sudah bekerja selama 10 tahun.

"Sejak 2016 sampai 2017 kita kuliahkan 350 guru honorer yang berijazah SMA. Mereka sudah mengabdi sebagai tenaga pengajar selama 10 tahun dengan gaji yang sangat minim," ujarnya.

Program Pemerintah Sumba Timur itu dalam rangka menyejahterakan guru-guru di daerah itu sekaligus juga melatih para guru agar lebih kreatif saat mengajar.

Jurusan kuliah yang diambil oleh para guru tersebut adalah S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Pada 2018, pemerintah setempat juga kembali menganggarkan untuk menguliahkan para guru honorer.

Tahun 2018 akan ada lagi program serupa hanya jumlahnya belum dipastikan. "Pak Bupati sudah sempat membicarakan beberapa waktu lalu," tambahnya.

Pemerintah Kabupaten Sumba Timur sudah berusaha sebaik mungkin agar guru-guru di daerah itu memiliki ijazah S1, sebab syarat untuk menjadi guru PNS adalah mereka yang sudah berijazah S1.