Komunitas pribumi Brazil kehilangan tempat tinggal akibat hujan deras

id Brazil,Pataxo-Huhahae,pribumi,banjir

Komunitas pribumi Brazil kehilangan tempat tinggal akibat hujan deras

Ilzete dipeluk oleh putrinya Joelma di depan rumah tergenang banjir yang disebabkan hujan lebat di Imperatirz, negara bagian Maranhao, Brazil, Kamis (6/1/2022). REUTERS/Ueslei Marcelino/foc/cfo (REUTERS/UESLEI MARCELINO)

...Kami kehilangan rumah. Kami kehilangan kamar mandi. Kami kehilangan pusat kesehatan kami. Kami kehilangan perabotan. Komunitas kami semua kebanjiran
SaoJoaquim de Bicas, Brazil (ANTARA) - Tiga tahun lalu, runtuhnya bendungan limbah buangan di sebuah tambang biji besi memaksa komunitas pribumi Brazil untuk pindah rumah ke tempat yang lebih tinggi.

Sekarang, Sungai Paraopeba yang diguyur hujan telah membanjiri desa baru mereka dan membuat mereka kehilangan tempat tinggal lagi.

Sekitar 50 penduduk asli suku Pataxo-Hahahae telah berlindung di sekolah lokal, tetapi rumah mereka di desa Nao Xoha telah terkontaminasi oleh air sungai yang dipenuhi limbah tambang berlumpur.

"Kami kehilangan rumah. Kami kehilangan kamar mandi. Kami kehilangan pusat kesehatan kami. Kami kehilangan perabotan. Komunitas kami semua kebanjiran," kata Kepala Sucupira Patax-Hahahae, Rabu, (13/1). 

"Air yang terkontaminasi bijih tambang membanjiri rumah dan halaman belakang kami. Tidak mungkin kami bisa tinggal di sana lagi. Kami punya banyak anak," katanya.

Hujan deras tanpa henti selama dua minggu terakhir mengguyur wilayah pertambangan negara bagian Minas Gerais di Brazil tenggara, menyebabkan bendungan meluap dan membanjiri kota dan jalan. Lebih dari 20 orang telah meninggal.

Pada Januari 2019, sebuah bendungan runtuh di sebuah tambang dekat Brumadinho yang dimiliki oleh penambang raksasa Vale SA, melepaskan semburan lumpur yang menerjang kafetaria penambangan itu dan mengubur rumah-rumah dan pertanian, menewaskan 270 orang.

Tidak ada warga suku Pataxo-Hahahae yang tewas dalam bencana tersebut. Tetapi bermil-mil ke hilir, cara hidup mereka menjadi tidak berkelanjutan di tepi sungai yang tercemar tempat mereka mandi, mencuci pakaian, dan memancing untuk sumber makanan utama mereka.

Baca juga: PBB sebut Sertifikat, vaksinasi COVID bantu pemulihan pariwisata Eropa

Desa tersebut memiliki 80 penduduk pada waktu itu. Keberadaan warga itu tercerabut dan mereka pindah ke tempat yang lebih aman 30 meter dari sungai. Sekarang bahkan tempat baru itu berada di bawah air.

Baca juga: Dewan HAM PBB tunjuk pelapor khusus mengenai Afghanistan

"Sangat sedih melihat kondisi ini terjadi lagi," kata Marina Pataxo-Hahahae, seraya melihat ke halaman belakang rumahnya yang terendam banjir.

Sumber: Antara/Reuters