Jakarta (ANTARA) - Hari-hari ini pada dua tahun lalu, tepatnya Januari 2018, kesibukan warga desa ini bertambah dengan urusan yang tidak pernah ada sebelumnya.

Kesibukan yang baru dirasakan dan harus segera dituntaskan. Selain kesibukan mengurusi tanaman padi di sawah, urusan penting yang harus segera dituntaskan oleh warga Lingkungan VI dan VII Bedeng 11D Desa Simbarwaringin, Kelurahan Simbarwaringin, Kecamatan Trimurjo, Lampung Tengah, adalah menyangkut berkas-berkas terkait lahan sawah yang digarap dan pekarangan yang ditepati.

Sejak dibuka dari hutan belantara tahun 1935 oleh Pemerintah Kolonial Belanda, status hukum lahan di wilayah ini memang belum jelas.
Kalaupun ada surat tanah, umumnya masih berupa girik, Surat Keterangan Tanah (SKT) atau akte hibah.

Untuk yang sudah dierjualbelikan, telah berubah statusnya dalam bentuk Akte Jual-Beli (AJB). Bisa dikatakan belum ada warga yang
punya sertifikat atas lahan yang dimiliki secara turun-temurun sejak zaman Belanda.

Hal itu kemudian direspons oleh pemerintah. Pemerintah berupaya meningkatkan status hukum lahan-lahan pemberian Belanda itu melalui Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Dengan program ini, maka akan ada kepastian dan status hukum sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan negara atas lahan pekarangan dan sawah-sawah itu dalam bentuk sertifikat.

Baca juga: Menteri ATR/BPN: minta warga tidak jual tanah bersertifikat

Setelah melalui sosialisasi kepada warga, tahap selanjutnya adalah pihak kelurahan dan kecamatan mengajak warga agar memenuhi
persyaratan untuk mengikuti program PTSL.

Persyaratannya mudah dan sederhana, cukup salinan dan surat-surat tanah yang asli dimiliki berikut salinan (fotokopi) Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Setiap bidang harus menyertakan surat-surat asli berikut dua rangkap salinannya. Syarat berikutnya adalah salinan KTP dan salinan
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Mengingat warga diajak dan diimbau agar memiliki atau memenuhi persyaratan itu dilaksanakan dengan batas waktu sampai akhir Januai 2018, maka warga bergegas mencari-cari dimana surat-surat tanahnya disimpan. Warga yang tidak tinggal di desa ini tetapi punya aset dari orang tuanya juga dipanggil agar mengurus persyaratan agar bisa ikut program ini.

Baca juga: Presiden Jokowi serahkan sertifikat tanah warga di Tarakan Kaltara

Yang kemudian terlihat dari kesibukan baru warga adalah menyediakan salinan surat-surat tanahnya berikut bukti pembayaran PBB. Mereka bergegas dan berbondong-bondong menntangi tempat penggandaan atau salinan untuk "foto kopi" berkas.

Banyaknya berkas milik warga yang harus di"foto kopi", menyebabkan satu-satunya layanan penggandaan tidak sanggup seketika memenuhi kebutuhan warga. Warga harus bersabar karena berkas yang diantar hari ini baru bisa diambil salinannya 1-2 hari mendatang saking banyaknya pesanan (order).

Akhirnya, tak sedikit warga yang mencari solusi dengan mencari tempat layanan penggandaan di desa lain. Di desa lain, tempat yang sama juga harus antre.

Banyak warga yang kemudian mencari tempat penggandaan di Kota Metro yang jauhnya sekitar delapan kilometer dari rumahnya. Jarak itu tak masalah karena yang terpenting persyaratan untuk mengikuti program PTSL segera terpenuhi.

Banyak warga ikut program ini karena persyaratannya mudah dan prosesnya (dijanjikan) cepat serta dimobilisasi oleh kelurahan dan kecamatan. Hal ini menambah optimisme bahwa status hukum lahannya akan segera terwujud dalam kurun waktu paling cepat enam bulan dan paling lama delapan bulan.

Apalagi program ini banyak dipublikasikan pemerintah melalui beragam platform media, baik cetak, elektronik hingga dunia maya dan media sosial. Bukan hanya program yang disosialisasikan secara masif, tetapi juga adanya penyerahan sertifikasi tanah secara massal.
Petani memanen padi di hamparan lahan sawah yang merupakan hasil program kolonisasi Belanda tahun 1935 di Desa Simbarwaringin, Kecamatan Trimurjo, Lampung Tengah, Provinsi Lampung, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Sri Muryono)


Jaminan Kepastian

Secara garis besar, program ini juga telah banyak dijelaskan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
bersama Tim Komunikasi Pemerintah Kemkominfo.

Belum adanya jaminan kepastian hukum atas tanah seringkali memicu terjadinya sengketa dan perseteruan atas lahan di berbagai wilayah di Indonesia. Selain di kalangan masyarakat, baik antarkeluarga, tak jarang sengketa lahan juga terjadi antarpemangku kepentingan (pengusaha, BUMN dan pemerintah).

Hal itu membuktikan pentingnya sertifikat tanah sebagai tanda bukti hukum atas tanah yang dimiliki. Lambannya proses pembuatan sertifikat tanah selama ini menjadi pokok perhatian pemerintah.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN telah meluncurkan Program Prioritas Nasional berupa PTSL. PTSL adalah proses pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak.

Program ini meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftarkan di dalam suatu wilayah desa atau kelurahan atau nama lainnya
yang setingkat. Melalui program ini, pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah yang dimiliki masyarakat.

Metode PTSL ini merupakan inovasi pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, baik sandang,
pangan dan papan. Program tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2018.

PTSL yang populer dengan istilah sertifikasi tanah ini merupakan wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah masyarakat. Selain itu nantinya masyarakat yang telah mendapatkan sertifikat dapat menjadikan sertifikat tersebut sebagai modal pendampingan usaha yang berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya.

Pada 2017, Kementerian ATR/BPN berhasil melakukan pengukuran tanah masyarakat sebanyak 5,2 juta bidang tanah atau melebihi target 5 juta yang diberikan sertifikat. Pencapaian tersebut diraih berkat kerja sama yang baik antarkementerian, inovasi pelayanan dan teknologi serta pelibatan dan partisipasi masif masyarakat.

Tahun itu, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, sebanyak 51 juta bidang tanah telah terdaftar. Sebanyak 79 juta bidang tanah sisanya menjadi target kegiatan pendaftaran tanah, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Pada 2018, pemerintahan fokus pada peningkatan sumber daya manusia (SDM). Untuk itu Kementerian ATR/BPN memastikan penggunaan tenaga juru ukur, petugas PTSL yang berkualitas dan berkompeten untuk melaksanakan program PTSL.

Dimulai dari penyuluhan, pendataan, pengukuran, Sidang Panitia A, pengumuman dan pengesahan serta penerbitan sertifikat. Kementerian ATR/BPN juga memastikan seluruh proses tersebut dilakukan secara mudah, transparan dan efisien.

Sebagai gambaran, jika menggunakan metode pendaftaran tanah sporadis, maka maksimum pencapaian target per tahun adalah hanya
sejuta bidang tanah. Artinya untuk menyelesaikan 79 juta bidang diperlukan waktu 79 tahun, sementara melalui PTSL, target pendaftaran 79 juta bidang tanah itu dapat diselesaikan pada tahun 2025.
Pepohonan milik warga di pekarangan yang merupakan hasil program kolonisasi Belanda tahun 1935 di Desa Simbarwaringin, Kecamatan Trimurjo, Lampung Tengah, Provinsi Lampung, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Sri Muryono)


Tidak Jelas
Dari segi target, harus diakui bahwa program ini sebagai inovasi yang berhasil dan disambut antusias oleh masyarakat. Banyak sekali lahan
masyarakat yang memperoleh status hukum melalui penerbitan sertifikat tanah sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan atas kepemilikan itu.

Hanya saja, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memantau pelaksanaannya di lapangan. Di Bedeng 11 D Desa Simbarwaringin ini,
misalnya, secara umum program ini berhasil dan warga yang belum ikut tertarik untuk mengikuti kalau ada program berikutnya.

Sebagian besar warga telah memperoleh sertifikat yang diserahkan menjelang Pemilu 9 April 2019. Sebagian besar warga menerima
sertifikat tanahnya sesuai kondisi faktual di lapangan, baik menyangkut nama pemilik, luas maupun letaknya.

Namun ada sebagian kecil warga yang "kecele" karena sertifikatnya tidak ada dan tidak jelas. Bahkan hingga kini, mereka masih bertanya-
tanya dimana sertifikatnya yang dijanjikan terbit melalui Program PTSL

Pertanyaan demi pertanyaan disampaikan kepada ketua RT dan "Bayan" (Ketua Lingkungan/Ketua RW) tetapi tak juga memperoleh jawaban yang melegakan. Bahkan setelah dua tahun mereka menanti, tak ada pula kepastian dan kejelasan atas sertifikatnya.

Bersamaan dengan kegundahan itu muncul informasi dari sebagian yang sudah menerima sertifikat tanahnya. Ada yang menyampaikan luas lahannya kurang (berbeda dengan saat pengukuran), ada pula yang tertukar nama dan lokasi.

Satu warga menyebutkan, tiba-tiba memperoleh sertifikat untuk lahan sawahnya. Padahal hanya menyerahkan berkas PTSL untuk lahan
pekarangan. Artinya sawahnya tidak diikutkan program PTSL tetapi diterbitkan sertifikat.

Bagi dia, itu merupakan berkah. Tetapi bagaimana dengan warga yang ikut PTSL tetapi sampai dua tahun ini sertifikatnya tidak ada dan tidak jelas keberadannya maupun perkembangan proses penerbitannya?

Mereka mempertanyakan tetapi sampai sekarang tidak ada penjelasan. Padahal UU Nomor 25/ Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menggariskan mengenai peningkatan standar dalam pelayanan publik agar tercapai kualitas standar pelayanan, cepat, mudah, terjangkau dan efisien.

Tidak adanya penjelasan juga menimbulkan pertanyaan karena semestinya masalah ini dijelaskan kepada warga. Apalagi objek pelayanannya bukan sesuatu yang patut dirahasiakan.

Penjelasan dan keterbukaan itu sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik bahwa setiap badan publik
wajib membuka informasi bagi warga untuk mendapatkan informasi publik, kecuali informasi yang memang harus dirahasiakan karena pertimbangan tertentu.

Sampai kapan mereka harus menanti dalam ketidakpastian?

Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2020