Jakarta (ANTARA News) - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menambah dua guru besar tetap yaitu Prof Dr dr Amir Sjarifuddin Madjid, SpAnKIC dalam Ilmu Anestesiologi dan Prof dr Wiwien Heru Wiyono, PhD SpP(K) dalam bidang Pulmonologi dan Respirasi yang dikukuhkan oleh Rektor UI Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa Somantri.    Keterangan Humas FKUI  yang diterima di Jakarta, Selasa, menyebutkan, Prof Amir Sjarifuddin Madjid dalam pidato pengukuhan membahas tentang "Gangguan Tidur di ICU (intensive care unit), Permasalahan dan Pemecahan di Masa Depan", sedangkan Prof Wiwien Heru Wiyono dalam pengukuhannya membahas "Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), Tantangan dan Peluang". Prof Amir Sjarifuddin Madjid mengatakan, pasien-pasien sakit kritis cenderung mengalami kehilangan tidur, kualitas tidur buruk, dan pola sirkadian terganggu, penyebabnya multifaktorial, termasuk ICU, intervensi tenaga medis, diagnostik dan terapi, medikasi, serta ventilasi mekanis dan penyakit dasar. Metode objektif yang praktis dan mudah dibutuhkan untuk menilai tidur pasien kritis di ICU yaitu penggunaan BIS (Bispectral index). Selain itu,  staf yang bekerja di ICU harus diberi edukasi tentang kepentingan tidur, faktor-faktor yang dapat mengganggu tidur, dan peran staf ICU dalam mendorong tidur yang baik pada pasien sakit kritis. "Akhir kisah gangguan tidur di ICU ini diharapkan dapat diminimalisasi sehingga hasil akhir pasien yang dirawat di ICU menjadi lebih baik," katanya. Sementara itu, Prof Wiwien Heru Wiyono dalam pidato mengatakan, saat ini belum ada data yang tepat prevalensi serta mortalitas akibat PPOK di Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes 1992, angka kematian akibat asma, bronkitis kronik dan emfisema menempatai urutan ke-6 dari 10 penyebab kematian utama di Indonesia. Pada SKRT 1995, PPOK dan asma menduduki peringkat ke-5 penyebab tersering kematian, sedang Wijaya pada penelitian epidemiologi terhadap 6144 responden mendapatkan prevalensi PPOK di Jatim sebesar 13 persen. Penelitain COPD Working Group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 5,6 persen. Menurut Prof Wiwien, berhenti merokok terbukti paling efektif dalam upaya menurunkan risiko berkembangya PPOK, mencegah atau memperlambat hambatan aliran udara serta menurunkan progresivitas PPOK. "Berhenti merokok sepertinya merupakan satu-satunya intervensi yang diketahui dapat memodifikasi perjalanan penurunan faal paru pasien PPOK, antara lain dengan stretegi edukasi 5 A yaitu ask (tanyakan), advise (nasehat), assist (bantu) dan arrange (atur)," katanya. Ia menegaskan, PPOK adalah penyakit kronik dan progresif. Perjalanan penyakit tetap berlangsung dan cenderung memburuk, meskipun dengan pengobatan yang masksimal, karena sampai saat ini belum ada obat yang dapat mengurangi progresitivitas yang terus berlangsung pada PPOK.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009