Kupang (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Flores Timur bersama aparat TNI-Polri telah membentuk tim percepatan perdamaian untuk penanganan konflik memperebutkan lahan antarwarga dari dua suku di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama, Pulau Adonara.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Kepolisian Resor Kabupaten Flores Timur, AKBP Deny Abrahams, ketika dihubungi dari Kupang, Rabu (25/3), terkait kelanjutan penanganan konflik antarwarga dua suku di Desa Sandosi antara Suku Lamatokan dan Suku Kwaelaga.

“Sudah ada dibentuk tim percepatan perdamaian konflik di Sandosi bersama Pak Bupati (Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hadjon, red) melibatkan unsur pemerintah di tingkat bawah bersama personel polisi dan TNI di lapangan," katanya.

Baca juga: Polisi tetapkan delapan tersangka 'perang tanding' di Adonara

Dia mengatakan, tim tersebut akan bergerak dengan mengedepankan peran unsur musyawara pimpinan kecamatan (Muspika) di Kecamatan Witihama.

“Melalui Muspika akan terus dilakukan pendekatan untuk mengajak tokoh-tokoh dari kedua suku yang berkonflik untuk berdamai,” katanya.

Konflik antarwarga suku yakni Suku Lamatokan dan Suku Kwaelaga pada 5 April 2020 sebagai buntut dari saling klaim lahan perkebunan Wulen Wata di sekitar Pantai Bani, Pulau Adonara.

Konflik “perang tanding” tersebut menewaskan sebanyak enam orang, masing-masing di antaranya empat orang dari Suku Kwaelaga dan dua orang dari Suku Lamatokan.

Pascakonflif tersebut, Polres Flores Timur mengamankan sebanyak delapan orang dan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka di antaranya, RT (54), TT (58), RT (30), TST (25), POT (70), SB (31), MB (31), dan H (62), yang beralamat di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama.

"Meski telah ditetapkan delapan tersangka, tidak menutup kemungkinan akan ada tambahan tersangka baru dalam kasus tersebut,” kata Deny Abrahams.

Baca juga: Warga dua suku di Adonara sepakat tak ingin berkonflik lagi

Pewarta: Aloysius Lewokeda
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020