Jakarta (ANTARA) - Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dan berlokasi di garis khatulistiwa, diberkahi dengan kekayaan mega biodiversity (keanekaragaman hayati) sebagai harta yang tak ternilai harganya.

Ekositem hutan hujan tropis hingga hamparan “Hutan Amazon” bawah laut di segi tiga terumbu karang dunia yang membentang dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, berisi keajaiban-keajaiban alam dari Sang Pencipta.

Sepatutnya tak terputus rasa syukur anak manusia yang hidup di dalamnya. Namun, gambaran Zamrud Khatulistiwa nan indah yang disenandungkan almarhum Chrisye kenyataannya kini tak selalu tampak berseri-seri.

Baca juga: "Kartini" Samarida "menyungaikan" sungai di tengah pandemi COVID-19

Bumi terbebani populasi yang semakin padat. Kebutuhan hidup mereka terpenuhi dari alam, namun tak selamanya diperoleh dengan cara-cara yang lestari, sehingga lambat laun bumi meredup karena ekosistem yang tidak lagi seimbang.

Bencana ekologis acap kali tak terelakkan, salah satunya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang semakin rutin terjadi di Tanah Air. Upaya pencegahan bukan tidak dilakukan, namun api yang kadung tersulut dan membara yang menimbulkan asap pekat yang mengganggu kesehatan masyarakat terutama di hutan dan lahan gambut, sulit sekali dipadamkan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan tim Manggala Agninya termasuk salah satu garda terdepan untuk urusan pencegahan dan pengendalian karhutla di Indonesia. Mereka kerap berkolaborasi dengan TNI/Polri, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Masyarakat Peduli Api (MPA) memadamkan api.

Baca juga: Sisi, penebar semangat Kartini yang lestarikan lingkungan Pekurehua

Srikandi Manggala Agni membawa selang untuk memadamkan api di kebun sawit, Riau. (ANTARA/HO-KLHK)

Namun, kerja fisik pemadaman api di hutan dan lahan di Indonesia selama ini ternyata tidak melulu didominasi kaum adam. Ada pula perempuan-perempuan tangguh di sana, yang ikut mengangkat selang, memadamkan lidah-lidah api yang jalar di lahan-lahan gambut di Sumatera ataupun Kalimantan.

Tepat di Hari Kartini pada 21 April dan menjelang Hari Bumi pada 22 April, cerita-cerita kartini-kartini pengendali api dan pelindung Bumi menjadi relevan untuk ditampilkan. Sambil mengingatkan kembali, tidak ada pembeda gender dalam urusan melindungi Indonesia.

 

Neneng dan Metha

Agni Gustia Ningsih (35) yang akrab disapa Neneng, merupakan salah satu srikandi Manggala Agni dari Daops Manggala Agni Sumatera VI/Siak yang sejak 15 tahun lalu sudah ikut mengendalikan karhutla di sana.

Manis pahit saat bertugas memadamkan api di salah satu provinsi terawan karhutla di Indonesia sudah dirasakan ibu tiga anak itu, tanpa melalaikan dan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang perempuan dalam rumah tangga.

Tugas pokok Neneng sehari-hari adalah sebagai pemantau deteksi dini. Pantauannya meliputi wilayah Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Kepulauan Meranti.

Selain itu, Neneng juga bertugas mengatur papan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran (SPBK) dan mengurus administrasi kantor Daops Manggala Agni Sumatera VI/Siak. Namun, tidak jarang dirinya ikut terjun ke lapangan untuk melaksanakan patroli pencegahan dan pemadaman karhutla.

Baca juga: Perempuan dan peran pentingnya dalam restorasi lahan gambut

Sosok Kartini bagi Neneng cukup memberikan motivasi dirinya untuk ikut bergerak untuk menjadi bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan tanpa melalaikan dan meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang wanita, sebagai ibu yang baik dan sebagai istri yang patuh terhadap suami.

“Kartini memberikan inspirasi tersendiri bagi saya, bahwa wanita bisa berperan dalam semua hal, termasuk dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan sebagai Manggala Agni,” kata Neneng.

Misalnya, saat terjadi kebakaran hutan dan lahan di Siak pada 2019. Sebagai Manggala Agni tentu harus terjun langsung untuk melakukan pemadaman karhutla sampai beberapa hari, ujar Neneng.

Srikandi Manggala Agni berupaya memadamkan api di kebun sawit, Riau. (ANTARA/HO-KLHK)
Meski Manggala Agni didominasi laki-laki, hal ini tidak membuatnya merasa minder. Pada saat pemadaman karhutla, Neneng juga siap berjalan puluhan kilometer untuk menuju titik api, mengangkat gulungan selang, serta memegang nozzle di depan berhadapan langsung dengan api.

“Waktu melakukan pemadaman saya pernah terperosok gambut karena kebakaran saat itu di selimuti asap yang sangat tebal," ujar Neneng.

Namun, beban yang paling berat biasanya saat harus meninggalkan keluarga, anak-anak. "Karena kalau masuk hutan tidak ada sinyal handphone, sehingga untuk sekedar bertanya kabar pun susah sekali," katanya.

Neneng berpesan pentingnya memaknai Hari Kartini setiap hari. Kartini modern saat ini dituntut menjadi perempuan yang berbudi luhur, pandai dan berani.

Baca juga: Menebarkan semangat Kartini dari ruang isolasi

Baca juga: Perawat di Kendari titip "buah hati" demi merawat pasien COVID-19


"Mereka mendapatkan hak untuk mengambil peran dalam berbagai bidang, namun tidak melupakan kewajibannya untuk merawat keluarga dan menghargai suaminya,” kata Neneng.

Ada pula Miftahul Jannah (30) yang akrab disapa Metha, bertugas di Daops Manggala Agni Kalimantan III/Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan sudah bergabung sejak 2015.

Dengan latar belakang pendidikan keperawatan, Metha tidak hanya dibutuhkan untuk urusan mengendalikan api di hutan dan lahan gambut, tetapi juga melakukan perawatan bagi rekan-rekannya sesama Manggala Agni yang terluka saat bertugas berhari-hari di dalam hutan.

Metha mengatakan mereka berdua hanya sedikit dari perempuan di Indonesia yang mengambil peran dalam kelestarian lingkungan sebagai Manggala Agni.

"Semoga perempuan Indonesia tak pantang menyerah dan semangat untuk meneruskan perjuangannya Ibu Kartini dalam membangun negeri ini. Saya yakin di luar sana masih banyak sosok perempuan hebat Indonesia yang berjuang untuk keluarga, negara dan lingkungannya yang memiliki semangat emansipasi Ibu Kartini," ujar Metha.

Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020