Jakarta (ANTARA) - Menteri Luar Negeri RI melakukan pertemuan virtual dengan Menteri Luar Negeri Palestina, Selasa (29/9), diantaranya membahas perkembangan situasi negara itu yang semakin memprihatinkan setelah beberapa negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel.

“Masa depan Palestina menjadi semakin tidak mudah dan penuh tantangan. Tanpa dukungan dunia internasional yang kokoh, dikhawatirkan hak politik Palestina akan terabaikan,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam pengarahan media secara daring, Rabu.

Keputusan Uni Emirat Arab (UAE) dan Bahrain untuk kembali membuka hubungan diplomatik dengan Israel dinilai banyak pihak akan melemahkan perjuangan Palestina mencapai kemerdekaan.

Indonesia sendiri memahami langkah tersebut sebagai niat UAE dan Bahrain yang ingin menyediakan ruang negosiasi dan mengubah pendekatan guna menyelesaikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina.

Namun, Indonesia tetap konsisten mendukung kemerdekaan Palestina berdasarkan solusi dua negara serta mengecam segala bentuk pendudukan, pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional yang dilakukan Israel.

“Saya menekankan mengenai posisi Indonesia yang akan terus memberikan dukungan bagi perjuangan Palestina,” Retno menegaskan.

Di tengah situasi Palestina yang memburuk, Menlu Riad Maliki melaporkan satu hal positif yakni terciptanya persatuan antara Hamas dan Fatah, dua faksi terbesar Palestina yang memiliki sejarah perang saudara.

“Dijelaskan oleh Menlu Palestina bahwa kedua faksi ini sedang terus melakukan pembicaraan yang akan mengarah kepada pelaksanaan pemilu Palestina,” ujar Retno.

Dua faksi utama Palestina itu telah sepakat untuk mengadakan pemilu pertama dalam hampir 15 tahun. Pemungutan suara akan dijadwalkan dalam enam bulan di bawah kesepakatan yang disepakati oleh Fatah, pemimpin Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas, dan kepala politik Hamas Ismail Haniya.

Saleh al-Arouri, seorang pejabat tinggi Hamas, mengatakan kesepakatan itu dicapai selama pertemuan yang diadakan di Turki.

"Kali ini kami mencapai konsensus yang nyata. Perpecahan telah merusak tujuan nasional kami dan kami sedang berupaya untuk mengakhirinya," katanya kepada kantor berita AFP dari Istanbul.

Pemilihan parlemen Palestina terakhir diadakan pada 2006 ketika Hamas menang telak secara tak terduga.

Setelah pemungutan suara 2006, Hamas dan Fatah membentuk pemerintah persatuan tetapi segera runtuh dan bentrokan berdarah meletus di Jalur Gaza antara dua faksi pada tahun berikutnya.

Hamas sejak itu memerintah Gaza, sementara Fatah menjalankan PA, yang berbasis di kota Ramallah, Tepi Barat yang diduduki.

Berbagai upaya rekonsiliasi, termasuk perjanjian pertukaran tahanan pada 2012 dan pemerintah persatuan yang berumur pendek dua tahun kemudian, telah gagal menutup keretakan hubungan antara kedua pihak.

Baca juga: Normalisasi Arab-Israel dan potret buram Palestina merdeka
Baca juga: DPR: Dukungan Indonesia terhadap Palestina tidak berubah
Baca juga: Keputusan UAE, Bahrain tak ubah posisi Indonesia tentang Palestina

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2020