Menjadi seorang relawan bukan pekerjaan mudah
Jakarta (ANTARA) - Relawan atau sukarelawan, mereka mewakafkan tenaga, waktu, bahkan uang mereka untuk melaksanakan kerja-kerja sosial.

Mereka bekerja atas kepedulian sesama manusia. Dedikasi mereka pun diabadikan setiap 5 Desember sejak tahun 1985, sebagai International Volunteer Day atau Hari Relawan Internasional.

Baca juga: Komunitas Mat Peci susuri Kali Ciliwung peringati Hari Relawan

Saat kedaruratan atau bencana, para relawan terus bertumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka bekerja atas keinginan sendiri maupun bergabung dalam kelompok hingga organisasi sosial.

Menjadi seorang relawan bukan pekerjaan mudah. Mereka rela meninggalkan sementara waktu keluarga, pekerjaan hingga zona nyaman untuk kerja-kerja kemanusiaan. Potret para relawan bahkan jauh dari kata nyaman, khususnya mereka dari kalangan milenial.

"Selama kita hidup, lakukan yang kita bisa, dan berikan apa yang kita punya dan tetap berfikir positif," kata Destiyana, relawan kesehatan tanggap virus corona (COVID-19) kepada Antara, medio November 2020.

Usianya masih 24 tahun. Dia rela meninggalkan zona nyaman di Jakarta untuk memulai perjalanan ekspedisi melalui Yayasan Econusa dari Raja Ampat di Provinsi Papua Barat dan berakhir di Kepulauan Banda, Provinsi Maluku.

Baca juga: Cililitan miliki 46 relawan Kampung Siaga Bencana

Dalam perjalanan selama satu bulan itu, Desti bersama rekan-rekan relawan lain, mengunjungi pulau-pulau kecil untuk memberikan sosialisasi penanggulangan COVID-19 hingga pemeriksaan kesehatan gratis bagi masyarakat.

Alumni Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia itu mengaku sangat menyukai kegiatan sosial. Sewaktu kuliah di kampus, Desti sering mengikuti aktivitas sosial walaupun masih sekitar wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya.

Usai menamatkan pendidikan S1, Desti mendapatkan tawaran menjadi relawan kesehatan mengunjungi pulau-pulau di Indonesia bagian timur. Dia pun tidak melewatkan kesempatan yang menantang untuk mendapatkan pengalaman baru itu.

"Kalau ingin maju, harus berani keluar dari zona nyaman," ujar Desti.

Desti mengakui perbedaan cukup besar antara wilayah Indonesia bagian barat dan di bagian timur. di Indonesia barat, semua fasilitas kesehatan lengkap, tersedia dengan baik dan mudah diakses oleh masyarakat.
Destiyana (kiri), relawan kesehatan dari yayasan Econusa memberikan sosialisasi protokol kesehatan selama pandemi COVID-19 di Negeri Ameth, Nusa Laut, Provinsi Maluku, Rabu (11/11/2020) (ANTARA/Fauzi Lamboka)

Sementara di wilayah timur, apalagi wilayah kepulauan, perbedaannya sangat kontras terlihat. Masyarakat sangat membutuhkan dukungan tenaga kesehatan, obat-obatan, hingga fasilitas kesehatan.

Kenyataan itu menjadikan motivasi Desti untuk terus mengabdi kepada masyarakat dan bergabung dengan para relawan yang ingin mengembangkan masyarakat di pelosok Indonesia bagian timur.

Desti pun menceritakan pengalaman berharga itu, bagaimana dia melihat secara langsung fasilitas kesehatan yang minim seperti kurangnya alat-alat kesehatan. Tenaga kesehatan terbatas hingga tidak tersedianya obat-obatan.

Bahkan sulitnya masyarakat untuk mengakses pelayanan kesehatan lanjutan karena kendala transportasi dan jarak yang begitu jauh. Sebagai bentuk pencegahan, Desti pun mengajarkan promosi kesehatan, seperti cuci tangan enam langkah, etika batuk hingga pengolahan sumber air minum.

Baca juga: Wali Kota Jakpus lantik relawan gerakan anti COVID-19

"Beberapa kampung, ada yang mendapatkan sosialisasi itu, namun tidak dijalankan dengan baik. Tetapi ada pula kampung yang belum tersentuh informasi sama sekali," jelas Desti.

Yayasan Econusa bersama Kantor Berita Indonesia Antara memulai perjalanan untuk melihat gambaran beberapa pulau di wilayah Maluku. Perjalan itu disebut Ekspedisi Maluku Econusa dimulai 15 Oktober 2020 hingga 17 November 2020.

Ekpedisi menggunakan kapal Kurabesi Explorer menempuh jarak 1.570 kilometer itu dibagi menjadi dua rute perjalanan.

Perjalanan pertama dimulai dari Sorong di Papua Barat menuju Kofiau, Gane Dalam, Bacan, Gorogoro, Samo, Kajoa, Makian, Tidore dan berakhir di Ternate, Maluku Utara.

Perjalanan kedua dimulai dari Pelabuhan Tulehu di Ambon menuju Nuruwe, Haruku, Nusa Laut, Rhun, Ay, Hatta dan berakhir di Banda Neira, Kepulauan Banda.


Berbagi pengetahuan
Namanya Sayiful Islam. Usianya masih 24 tahun. Akrab dipanggil Dokter Ipul. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin itu baru pertama kali melakukan perjalanan laut untuk gerakan sosial di kepulauan.

Sebagai dokter, dia bertanggung jawab untuk memberikan penyuluhan protokol kesehatan penanggulangan COVID-19 hingga pemeriksaan kesehatan gratis untuk masyarakat. Dibantu Destiyana, mereka sangat cekatan saat mempersiapkan obat-obatan sebelum diberikan kepada warga.

Bahkan di beberapa pulau, Syaiful mengajarkan para tenaga dan kader kesehatan bagaimana menggunakan alat uji cepat atau rapid test untuk COVID-19.

"Bagaimana ilmu saya bisa bermanfaat untuk masyarakat luas, apalagi di pulau terpencil," kata Syaiful.

Dia pun bercerita bagaimana antusias masyarakat di sejumlah pulau saat mereka melakukan pemeriksaan kesehatan. Hampir sembilan bulan saat pandemi COVID-19, kurangnya tenaga kesehatan yang bertugas di masyarakat.

"Sebagian warga rela berjalan jauh, saat mendengar kami melakukan pemeriksaan kesehatan," ujar Syaiful.

Bahkan kata Syaiful, batas waktu pemeriksaan bergeser karena besarnya antusias masyarakat. Walaupun rasa lelah selalu ada, namun kebahagiaan masyarakat menjadi obat tidak ternilai bagi mereka sebagai relawan.

Kebahagiaan lain menjadi relawan karena mendapatkan lingkungan baru, bertemu dengan orang-orang dengan latar belakang berbagai profesi, hingga menemukan budaya baru di masyarakat.
Desi Wamma, relawan pertanian dari yayasan Econusa memberikan sosialisasi untuk ketahanan pangan selama pandemi COVID-19 di Negeri Pulau Ay, Nusa Laut, Provinsi Maluku, Jumat (13/11/2020) (ANTARA/Fauzi Lamboka)

Ekpedisi Econusa bukan hanya soal kesehatan. Ketahanan pangan selama pandemi COVID-19 menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan itu.

Desi Wanma (32), salah seorang putri asli Manokwari, Provinsi Papua turut berkontribusi menjadi relawan untuk kegiatan itu. Sebagai sarjana pertanian, Desi ingin menunjukkan jika anak-anak dari Indonesia bagian timur juga bisa saling berbagi pengetahuan dan informasi.

Setiap pulau yang disinggahi, Desi tidak pernah bosan memberikan penyuluhan pertanian hingga membagikan benih tanaman dan alat-alat pertanian kepada masyarakat.

Harapannya sederhana, masyarakat di pesisir bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan serta memotivasi mereka untuk berkembang lebih baik lagi. Dengan keterbatasan pembangunan di wilayah Indonesia bagian timur, bukan menjadi halangan bagi mereka untuk maju dan berkembang.

"Begitu banyak potensi yang dimiliki, baik di darat maupun di lautan," ujar Desi.

Desi mengakui sejumlah masyarakat bercerita kepada dirinya, jika produksi sedang melimpah, namun sulit untuk memasarkan hasil pertanian dan perkebunan mereka.

"Niatnya untuk berbagi, semoga menjadi berkah bagi diri sendiri dan orang lain," ujar Desti.

Semoga memperingati Hari Relawan Internasional bukan hanya sebatas seremonial belaka, tetapi lebih dari itu, bagaimana semua pihak terus memupuk rasa kesadaran untuk kemanusiaan di tengah pandemi COVID-19 yang belum pasti kapan berakhir.

Masih banyak masyarakat di Indonesia yang membutuhkan kehadiran relawan di tengah wabah COVID-19. Kehadiran relawan milenial yang secara sukarela untuk bergabung diharapkan menjadi solusi untuk menyentuh mereka.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020