Jakarta (ANTARA) - Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Muhammad Syarif Bando mengatakan literasi harus dipandang secara komprehensif mulai dari hulu hingga hilir, termasuk didukung oleh kondisi distribusi buku di masyarakat

Syarif Bando dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin mengatakan budaya baca rendah masyarakat Indonesia yang berdampak pada rendahnya indeks literasi, merupakan sebuah fakta.

Namun, menurut Syarif Bando, kondisi itu tidak diimbangi dengan kenyataan bahwa terjadi kekurangan dan distribusi buku yang tidak merata di masyarakat.

“Saya kira yang menjadi masalah di Indonesia, kalau hilirnya sudah fakta budaya baca rendah karena kurang paham bacaan, otomatis dengan demikian indeks literasi juga rendah, dengan rendahnya kemampuan mencetak barang dan jasa,” tambah dia.

Baca juga: Wapres: ASN harus kuasai literasi digital

Syarif Bando menilai penyebaran buku yang tidak merata membuat kualitas manusia Indonesia mengalami kesenjangan. Apalagi, banyak daerah yang belum mendokumentasikan sejarah dan sumber daya daerahnya dalam bentuk buku.

Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah daerah untuk mendokumentasikan kondisi, sejarah, dan potensi daerahnya dalam buku.

Ia mencontohkan, di Jawa Timur, mestinya ada buku tentang sejarah panjang kejayaan Jawa Timur, potensi sumber daya Jawa Timur, pariwisatanya.

"Ibu Gubernur Jatim ternyata sudah sangat paham makanya akan dipusatkan di Universitas Islam Malang dan menunjuk rektor sebagai pemimpin untuk kajian tentang Jawa Timur,” tambah dia.

Sementara itu, Wali Kota Malang Sutiaji mengungkapkan literasi harus memiliki nilai kemanusiaan, ke-Bhinnekaan, dan spiritual.

Baca juga: Budaya literasi jalan utama wujudkan SDM unggul

Ia menilai, indeks literasi harus dibarengi dengan nilai kemanusiaan agar memiliki nilai manfaat bagi hidup dan kehidupan.

Oleh karena itu, buku yang disajikan di perpustakaan harus sesuai kebutuhan pembaca dan harus mengandung nilai ke-Indonesia-an dan ke-Bhinneka-an yang tidak mengandung bahaya laten. Sutiaji menjelaskan hal ini menjadi kebijakan pemerintahannya agar buku yang dibaca oleh pemustaka sesuai dengan kebutuhan.

Persoalan rendahnya minat baca tidak hanya dialami Indonesia karena pegiat literasi Djoko Saryono menjelaskan, rekannya di Malaysia juga menyatakan keluhan yang sama.

Kondisi itu disebabkan beberapa hal, yakni harapan yang terlalu tinggi bahwa segala masalah dapat diselesaikan oleh literasi, perhatian yang terlalu luas sehingga sulit mengukurnya, dan medium untuk mengukur minat baca yang terbatas pada aksara dan tidak disesuaikan dengan perkembangan teknologi.

“Sehingga membaca itu hanya pada membaca bacaan, padahal sekarang itu membaca juga bisa di tablet, bisa di tayangan, dan membaca juga harusnya tidak hanya aksara, karena kita sekarang juga harus desain thinking. Kalau desain thinking itu yah gambar, infografis, dan seterusnya. Nah kalau instrumen kita minat baca rendah itu hanya aksara saja, maka kita berada dalam suatu dilema bahkan disorientasi. Minat baca itu apa, apa mediumnya, itu juga yang harus dipertimbangkan sekarang,” kata Djoko. 

Baca juga: Pembangunan kurang libatkan perpustakaan sebabkan pengangguran tinggi
Baca juga: Rektor: Hari Ibu momentum perkuat literasi teknologi

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020