ibaratnya sayuran dengan teknologi tinggi dan mahal
Jakarta (ANTARA) - Bantar Gebang bukanlah nama asing bagi masyarakat Jakarta karena di tempat itu berada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang menjadi tujuan akhir dari sampah para penduduk ibu kota.

Jumlah sampah yang dikirim ke fasilitas yang terletak di Bekasi, Jawa Barat itu tidak sedikit dan mengalami tren peningkatan setiap tahunnya.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, pada 2018 sampah yang dikirim mencapai 7.453 ton per hari yang naik menjadi 7.702 ton pada 2019. Angka itu mengalami sedikit penurunan pada 2020 yaitu menjadi 7.424 ton sampah per hari.

Tapi siapa sangka, di lahan yang dikenal karena sampah itu bisa dimanfaatkan untuk pertanian dengan menggunakan sistem hidroponik seperti yang dilakukan para siswa Sekolah Alam tunas Mulia.

Sekolah yang dibangun untuk memberikan pendidikan kepada anak pemulung itu memanfaatkan pelatihan yang diberikan mahasiswa tentang hidroponik dan mengembangkannya untuk menanam sayur.

Menurut pendiri Sekolah Alam Tunas Mulia, Nadam Dwi Subekti ketika dihubungi oleh ANTARA, terdapat sekitar 10 orang anak sekolah yang berbatasan dengan TPST Bantar Gebang tersebut itu yang mengurus program hidroponik.

"Untuk hidroponik kita sudah panen tiga kali, produknya ada pakcoy, kangkung dan bayam merah dan meski belum banyak. Kita sekarang lagi fokus ke bayam merah karena bisa diolah menjadi keripik," kata Nadam.

Fokus ke bayam merah itu karena produk olahan yang mereka buat sebelumnya mendapatkan respons yang baik dan memiliki harga jual yang bagus. Untuk satu bungkus keripik, memerlukan satu lubang hidroponik.

Fokus menjual produk olahan sayur hidroponik itu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual sayuran tersebut, yang tidak terlalu besar ketika dijual secara utuh tanpa pengolahan tertentu.

Selain itu fokus ke produk olahan hasil pertanian hidroponik itu juga dilakukan karena penjualan tidak harus dilakukan secepat mungkin, mengingat penjualan sayur mentah biasanya harus diselesaikan dengan jeda tidak lama setelah panen untuk menjaga kesegaran.

"Namanya hidroponik, ibaratnya sayuran dengan teknologi tinggi dan mahal. Kalau kita menjualnya mengikuti harga sayuran di pasaran tidak masuk," kata Nadam.

Baca juga: Permintaan sayuran hidroponik dari Kediri semakin tinggi

Hidroponik

Hidroponik sendiri merupakan teknik budidaya menanam yang memanfaatkan air tanpa memakai media tanah. Sebagai gantinya, teknik itu menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.

Asal kata hidroponik sendiri dari hydro yang berarti air dan ponos yang artinya daya.

Penanaman tanpa tanah yang sudah ada bukanlah hal yang terlalu baru. Suku Aztec yang merupakan penduduk asli benua Amerika sudah terlebih dahulu mempraktikkan tenik pertanian tanpa media tanah asli dengan membangun Chinampa yaitu pulau buatan di atas danau air tawar atau seperti taman terapung.

Suku kuno itu membangun petak-petak yang dipasang di dasar danau dan menjalin pagar di antara tiang-tiang tersebut. Area itu kemudian dipenuhi oleh lumpur kaya nutrisi dan dedaunan.

Namun, penelitian formal dan publikasi resmi tentang hidroponik baru dimulai pada abad ke-17 ketika Francis Bacon yang merupakan peneliti terkenal dari Inggris memulai penelitian tentang perkebunan tanpa tanah pada sekitar tahun 1620-an. Hasil penelitiannya sendiri dipublikasi setelah dia tiada pada 1627.

Setelah itu pada 1699, John Woodward menerbitkan hasil penelitiannya dengan menanam spearmint dengan budidaya memakai beberapa jenis air.

Pada 1929, William Gericke dari Universitas California di Berkeley, Amerika Serikat mulai mempromosikan hidroponik untuk pertanian komersial, menggunakan proses yang disebutnya sebagai aquaculture atau budidaya perairan. Namun istilah itu diubah karena aquaculture sudah digunakan untuk studi tentang organisme air.

Dua peneliti dari Berkeley, Dennis Hoagland and Daniel Arnon kemudian mengembangkan studi William Gericke dan pada 1938 menerbitkan "The Water Culture Method for Growing Plants Without Soil" yang fokus tentang metode budidaya air untuk menumbuhkan tanaman tanpa tanah.

Gericke kemudian juga mempublikasikan tulisan berjudul "Complete Guide to Soilless Gardening" pada 1940 yang membahas secara lengkap teknik, media, nustrisi dan langkah-langkah melakukan hidroponik.

Yang harus dipastikan dalam memulai hidroponik adalah ketersediaan alat seperti net pot, media tanam seperti rockwool, benih sayuran dan nutrisi atau zat hara yang diperlukan tanaman untuk tumbuh tanpa tanah. Tentu saja terdapat perbedaan banyak dan jenis alat antara hidroponik rumahan dan untuk kebutuhan industri.

Selain itu terdapat beberapa jenis macam hidropnik seperti sistem Nutrient Film Technique (NTF) yang harus menggunakan pipa dan pompa, sistem wick yang cocok untuk pemula, atau bahkan aeroponick di mana tanaman digantung dan akarnya secara berkala dibasahi dengan larutan nutrien.

Meski mulai populer untuk menjadi solusi pertanian dengan lahan terbatas, bukan berarti hidroponik tidak lepas dari perdebatan. Beberapa ada yang mempersalahkan terkait organik atau tidak dan potensi ancaman terhadap petani yang menggunakan tanah untuk berkebun.

Pendiri usaha pertanian organik Twelve's Organic dan anggota Dewan Perwakilan Anggota Aliansi Organis Indonesia (AOI) 2017-2020 Maya Stolastika mengatakan secara pengertian, hidroponik belum bisa dikatakan masuk dalam kategori organik sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.

Namun, terkait ancaman, Maya mengatakan baik pertanian organik maupun hidroponik memiliki segmentasi pasar yang berbeda.

"Tergantung pada segmentasi pasar, pasti memiliki pasar yang berbeda-beda. Konsumen sendiri terbagi dari yang sekedar membeli dan ada yang aware soal kesehatan dan konsep lingkungan no plastic atau waste-nya seperti apa," kata Maya.

Di Indonesia, teknik hidroponik mulai populer di tengah semakin terbatasnya lahan terutama di kota-kota besar. Tren hidroponik juga semakin besar dengan makin maraknya urban farming atau pertanian urban di mana terjadi budidaya, pemrosesan, dan distribusi bahan pangan di atau sekitar kota.

Bercocok tanam tidak melulu dalam bentuk konvensional yang membutuhkan lahan tersendiri dan luas. Upaya untuk bercocok tanam kini menjadi salah satu aktivitas yang makin digemari masyarakat terutama perkotaan dengan lahan terbatas namun tetap menghasilkan untuk kebutuhan keluarga.

Baca juga: Hidroponik, ketahanan pangan rumah tangga

Baca juga: Mendulang rupiah dari "urban farming"

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021