Jakarta (ANTARA) - Bupati Sorong Johny Kamuru bersama pegiat lingkungan masih menanti perpanjangan kebijakan moratorium sawit dari pemerintah yang akan berakhir dalam dua hari ke depan yakni pada 19 September 2021.

“Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” kata Bupati Sorong dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Jumat.

Johny mengatakan kebijakan moratorium sawit merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi beberapa perusahaan sawit.

Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari juga menjadi dorongan terhadap pentingnya evaluasi izin perkebunan sawit.

Baca juga: Urgensi perpanjangan dan penguatan moratorium perizinan sawit

Baca juga: Pemerintah masih telaah terkait moratorium sawit


Dengan berpegang pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit, ia mengatakan Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat, mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada empat perkebunan sawit besar, yakni PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT. Cipta Papua Plantation.

“Pencabutan izin ini kami lakukan berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh Pemerintah Provinsi Papua Barat bersama beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Sorong dan KPK. Kami melihat bahwa lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke Masyarakat Adat atau pemilik hak ulayat. Dengan demikian, lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” katanya.

Namun, ia mengatakan tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya yakni PT IKL, PT PLA, dan PT SAS menggugat keputusan Pemerintah Kabupaten Sorong dan mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.

Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan perpanjangan kebijakan moratoriun sawit masih diperlukan karena tata kelola perizinannya belum selesai. Berdasarkan data yang mereka kumpulkan di akhir 2020, terdapat 11,9 juta hektare (ha) izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit tidak memiliki izin.

“Dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” ujar dia.

Sayangnya, menurut CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan seperti di Kalimantan dan beberapa tempat lainnya. Padahal evaluasi izin tersebut perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara.

“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara. Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit. Dilaporkan juga bahwa potensi kerugian negara dari pajak sangat besar," ujar dia.*

Baca juga: Koalisi kelompok sipil harapkan perpanjangan moratorium izin sawit

Baca juga: Kehati minta pemerintah intensifikasi sawit tanpa buka hutan


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021