Jakarta (ANTARA News) - Kendati pemerintah telah memutuskan untuk mempertahankan PT Freeport Indonesia, Front Pepera-PB tetap kukuh dengan sikapnya yang menghendaki ditutupnya perusahaan penambangan emas dan tembaga terbesar AS itu, karena dituduh telah "merusak alam dan adat budaya" Papua. "Freeport adalah 'biang kerok persoalan di Papua'. Orang Papua tidak menghedaki uang yang banyak... Yang terjadi adalah alam dan adat budaya di sana dirusak oleh Freeport selama bertahun-tahun, dan ini tidak bisa dinilai dengan apa pun," kata Jurubicara Front Pepera-PB Arkilaus Baho di Jakarta, Senin. Namun, Arkilaus menekan pentingnya cara-cara non-kekerasan dan dialogis dalam menyampaikan aspirasi dan melakukan aksi. Untuk menyelesaikan kasus PT Freeport Indonesia itu, ia mengatakan pemerintah perlu membuka diri dan mengedepankan cara-cara dialogis dan damai. "Pemerintah tidak boleh arogan, tetapi membuka diri dan menyelesaikan persoalan Freeport secara dialogis dan damai," katanya. Sehari sebelumnya, usai Rapat Terbatas Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di Jakarta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan sikap pemerintah. Pemerintah, katanya, tidak akan menutup operasional PT Freeport McMoran menyusul insiden bentrokan antara warga masyarakat dan aparat keamanan di distrik Abepura, Jayapura, Kamis lalu (16/3) yang menewaskan tiga anggota Polri dan satu orang anggota TNI Angkatan Udara. "Ada beberapa alasan, mengapa pemerintah tidak menutup operasional PT Freeport, antara lain kita ingin ada kepastian hukum bagi jaminan masuknya investasi," katanya. Alasan kedua, Indonesia harus menghormati kontrak dengan PT Freeport McMoran yang kali pertama ditandatangani pada 1967 dan diamandemen pada 1991 yakni kontrak karya dengan pemerintah Indonesia. "Siapa pun pemerintahan yang menandatangani kontrak karya itu, harus dihormati. Selain itu, kita juga melakukan audit lima tahunan, yang terkahir pada 2000," kata Purnomo. Audit terhadap PT Freeport itu meliputi audit lingkungan, audit produksi, audit penerimaan negara, audit perkembangan situasi keamanan di sekitar PT Freeport. "Jadi sekarang kita sedang dalam proses mengaudit lima tahunan," ujarnya, menambahkan. Soal saham Tentang saham yang hanya 15 persen, Purnomo menjelaskan Pemerintah sebenarnya telah mendapat 112 juta dolar AS atau sekitar delapan triliun rupiah dari PT Freeport. "Pengaturan saham itu, dilakukan sesuai kontrak yang sudah ditandatangani. Kemudian lima tahun setelah kontrak 1991 ditandatangani ada kontrak divestasi senilai 10 persen, ini sudah berjalan, namun kontrak divestasi harus diberikan pada nasional, pemerintah pusat sebagai prioritas, pemerintah daerah, baru diberikan pada swasta nasional. Ini masih dalam proses," tutur Purnomo. Jadi, tambah dia, total penerimaan dari PT Freeport pada 2005 mencapai 112 juta dolar AS, royalti 82 juta dolar AS, ditambah pemasukan lainnya sebanyak 534 dollar AS hingga mencapai 880 juta dolar AS. "Itu merupakan penerimaan langsung," kata Purnomo. Dari royalti sebanyak 82 juta dolar AS itu, sesuai dengan UU Otonomi Daerah 80 persennya dikembalikan ke daerah dengan itung-itungan 32 persen untuk Kabupaten Timika, 32 persen untuk seluruh kabupaten di Papua dan sebelas persen untuk pemerintah daerah. "Di samping itu ada manfaat tidak langsung senilai 740 juta dolar di antaranya 400 juta dolar untuk "community development" (program pembangunan kemasyarakatan-red.). Jadi, manfaat yang kita terima 880 juta dollar AS ditambah 740 juta dolar AS. Kalau kita total dari 1991-2005 pemerintah mendapat 3,8 miliar dolar AS untuk manfaat langsung, 2,2 juta dolar AS dikembalikan ke PT Freeport. Jadi penerimaan negara cukup besar," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006