Lampung Timur (ANTARA News) - Lembaga swadaya masyarakat Wildlife Conservation Societies (WCS) mencatat 26 ekor gajah ditemukan mati dalam kurun waktu delapan tahun di dalam kawasan hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) diduga akibat perburuan.

"Diduga kematian gajah-gajah ini akibat ulah pemburu liar yang mengincar gading dan giginya," kata aktivis WCS Lampung Timur Sugio di Lampung Timur, Rabu.

Ia mengatakan dalam kurun waktu delapan tahun itu, gajah diburu sejak tahun 2011 hingga 2018.

Rinciannya, lanjut dia, tahun 2011 sebanyak enam ekor terdiri atas lima jantan dan satu betina. Pada 2012 satu ekor gajah betina. Tahun 2013 tiga ekor gajah, rincianya satu jantan dan satu betina.

"Satunya tidak teridentifikasi jenis kelaminya karena sat ditemukan tinggal tulang belulang," kata Sugio.

Kemudian pada 2014 dua ekor gajah, satu jantan dan satu betina. Tahun 2015 enam ekor gajah mati terdiri atas lima betina dan satu jantan.

Selanjutnya, pada 2016 tiga ekor gajah mati, satu jantan dan satu betina yang satunya adalah bayi gajah yang mati karena sakit.

Kemudian tahun 2017 empat ekor gajah mati, satu gajah betina dan tiga ekor tidak diketahui jenis kelaminnya karena tersisa tulangnya.

Ia menyebutkan, terbaru pada tahun 2018 ini satu ekor gajah betina berusia sekitar 20 tahun ditemukan mati di wilayah resor III Kuala Penet TNWK pada Senin (12/2) pagi.

Saat ditemukan gigi dan caling (gading gajah betina) gajah ini hilang. Di bagian kepala dan dada gajah liar ini ditemukan beberapa bekas luka tembak .

"Kalau melihat gajah yang ditemukan mati umumnya rusak di bagian kepalanya, ?hilang gigi dan gadingnya. Kuat dugaan kami gajah-gajah ini mati karena diburu," kata ?aktivis WCS ini.

Menurutnya, dari jumlah gajah yang mati itu kebanyakan adalah gajah betina.

Sugiyo tidak memungkiri perburuan gajah di TNWK masih sering terjadi jika melihat banyaknya gajah yang ditemukan mati secara tidak wajar setiap tahunya di kawasan hutan ini.

Bahkan, menurut dia tidak hanya satwa gajah yang diburu satwa kunci lainya seperti harimau, badak, beruang dan tapir terancam diburu. Kemudian satwa rusa dan burung terancam menjadi incaran pemburu

"Faktor penyebab bisa maraknya perburuan itu karena banyaknya celah masuk bagi para pemburu ke dalam hutan TNWK mengingat topografi hutan Way Kambas yang datar, berdampingan dengan pemukiman penduduk dan berbatasan dengan laut sehingga petugas kesulitan mengawasinya," jelasnya.

Ditambah faktor minimnya petugas polisi kehutanan atau Polhut Balai TNWK yang tidak sebanding dengan luas hutannya.

Dia mengungkapkan motif pemburu itu bisa karena ekonomi dan hobi.

Ia menyatakan perlu koordinasi yang kuat antarsemua instansi, peningkatan patroli bersama, penegakan hukum yang tegas kepada para pelaku agar peristiwa perburuan gajah dan satwa lain di Way Kambas tidak terulang kembali.

Terpisah, Kepala Balai TNWK Ir Subakir menyangkal data WCS yang menyebutkan 26 ekor gajah TNWK yang mati akibat diburu.

Namun dia enggan menyebut data gajah yang mati akibat perburuan liar versi Balai TNWK.

"Nanti kita akan panggil WCS untuk mencocokkan datanya, data WCS kok segitu, saya kan baru menjabat dua tahun ini jadi saya belum tahu semuanya," kata Subakir.

Mantan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Lampung ini mengakui pihaknya kecolongan sehingga gajah TNWK mati diburu.

Dia mengatakan Balai TNWK hanya memiliki 50 petugas Polhut, jumlah yang tidak sebanding dengan luas area hutan yang harus diawasi?yang mencapai 125.621 hektare dengan batas pantai 73 kilometer dan hutan TNWK yang diapit 37 desa.

Subakir mengatakan menyusul kematian gajah betina yang ditemukan mati pada Senin (12/2), pihaknya bersama Polda Lampung dan Polres Lampung Timur melakukan olah TKP bangkai gajah itu untuk mencari petunjuk penyebap kematianya dan menangkap pelakunya.

"Olah TKP oleh Polda Lampung dan Polres Lampung Timur, Balai TNWK hari ini untuk mencari petunjuk dan memastikan pelaku memakai senjata apa, mudah-mudahan ada petunjuk dan pelaku bisa ditangkap secepatnya, doakan saja semoga pelakunya cepat tertangkap," tambahnya.

Pewarta: Agus Wira Sukarta
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018