Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar Satya Widya Yudha menilai infrastruktur energi harus menjadi penopang industri kemaritiman.

Menurut dia, dalam rilis di Jakarta, Senin, ketersediaan infrastruktur menjadi hal penting dalam rangka pengembangan konektivitas nasional terutama pemerataan sumber daya energi pada daerah strategis di pulau-pulau terpencil Nusantara.

"Konektivitas nasional menjadi penting seiring dengan program Presiden Joko Widodo untuk menggenjot potensi ekonomi di sektor maritim. Infrastruktur energi adalah salah satu penopangnya, karena itu butuh terobosan kebijakan untuk bisa mewujudkan ketahanan energi nasional," katanya.

Berbicara dalam "focus group discussion" (FGD), yang diselenggarakan dalam rangka Rapat Kerja Nasional Ikatan Alumni (IKA) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya 2018 di Jakarta, akhir pekan lalu, Satya mengatakan ancaman kelangkaan energi, yang bersumber dari bahan bakar fosil, di masa depan menjadi tantangan bagi pemerintah.

Oleh karena itu, lanjutnya, dibutuhkan riset dan inovasi dengan melibatkan seluruh komponen (stakeholder) dalam melakukan terobosan-terobosan kebijakan untuk menopang pengembangan energi baru dan terbarukan.

Satya menambahkan potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan mencapai 1,33 triliun dolar AS per tahun dengan sektor pertambangan dan energi mencapai 210 miliar dolar per tahun.

Nilai yang sama juga untuk akuakultur dan jasa maritim, yang mencapai 200 miliar dolar AS per tahun dan alat transportasi laut 30 miliar dolar per tahun.

Namun disayangkan, justru hingga akhir 2013 pertumbuhan industri migas dan energi mengalami pertumbuhan negatif sebesar rata-rata empat persen.

Padahal, lanjutnya, apabila potensi tersebut dimaksimalkan, menurut dia, maka seharusnya Indonesia sudah menjadi negara poros maritim dengan nilai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Menurut Satya, potensi kemaritiman sebesar itu masih terkendala konektivitas nasional, yang belum optimal karena faktor geografis, sehingga infrastruktur energi berpengaruh pada pasokan energi yang belum merata.

"Tanpa infrastruktur energi yang memadai dan menjangkau seluruh pelosok, maka konektivitas maritim yang dicanangkan pemerintah akan gagal. Solusinya, membangun armada kapal pembangkit (marine vessel power plant/MVPP) yang diproduksi industri dalam negeri, karena MVPP yang ada saat ini semuanya sewa kontrak dengan Pemerintah Turki. Kedua, membangun jaringan transmisi distribusi gas nasional melalui kapal-kapal domestik pengangkut CNG dan LNG dengan melibatkan tenaga kerja lokal serta mengembangkan perkapalan nasional khususnya kapal pendukung logistik untuk migas," ujar Satya yang juga Ketua Dewan Pakar IKA ITS.

Ia menambahkan pengembangan blok-blok migas laut dalam di wilayah timur Indonesia baik yang sudah ada maupun yang akan dikembangkan, seperti ONWJ, Masela, dan Indonesia Deepwater Development (IDD), juga membutuhkan jaringan kapal logistik pendukung sebagai bagian integral dari rantai pasokan produksi migas.

"Blok Masela dengan potensi yang cukup besar berada dalam posisi geografis yang terpencil dan sulit terjangkau, maka harus didukung konektivitasnya dengan kapal-kapal logistik migas agar siklus produksinya tetap berjalan lancar dan sesuai target," ujar Satya.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018