Sampang (ANTARA News) - Sekolah Dasar Negeri (SDN) Asem Jaran 2 di Kecamatan Banyuates, Sampang, Jawa Timur disegel oleh warga yang mengaku sebagai pemilik lahan yang ditempati lembaga pendidikan itu.

Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Sampang  M. Jupri Riyadi di Sampang, Senin malam, mengatakan penutupannya dilakukan Senin pagi sehingga anak-anak di sekolah itu tidak bisa belajar.

Pihaknya juga telah melaporkan kasus itu ke Penjabat Bupati Sampang Jonathan Judianto terkait dengan kasus itu.

"Beliau meminta agar kasus itu segera ditangani demi keberlangsungan kegiatan belajar mengajar siswa," ujarnya.

Penyegelan dilakukan di pintu gerbang utama sekolah, sehingga tak satu pun anak didik dan guru bisa masuk.

Selain diberi rantai dan gembok, terpampang spanduk bertuliskan "Tanah Ini Milik H. Mahdar" yang diperkuat dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya.

Menurut Mahdar, penyegelan itu telah dilakukan untuk kedua kalinya karena tidak ada itikad baik atas kasus sengketa itu, sedangkan pemkab tidak mau membayar ganti rugi atas tanah yang ditempati sekolah itu.

Bangunan sekolah yang berdiri di lahan seluas sekitar 3.019 meter persegi itu, menurut dia, ditempati sejak keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 1975.

"Jadi, lahan ini ditempati atas seizin orang tua saya, sudah sekitar 40 tahun silam tetapi tidak ada transaksi jual beli atau sewa sampai sekarang, bahkan setiap tahun saya sendiri selalu membayar pajak, makanya sekolah itu saya segel lagi," ujarnya.

Sejak 2014, pihaknya berupaya menyelesaikan kasus tersebut ke Pemkab Sampang melalui Disdik Sampang, tetapi menemui jalan buntu.

Mediasi dilakukan sejak masa kepemimpinan Bupati Noer Tjahja hingga almarhum K.H. Fannan Hasib.

Pada 2017, dia memutuskan menyegel sekolah, namun atas permintaan dari Fadhilah Budiono segel dibuka. Fadhilah mengarahkan agar dirinya mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Sampang.

"Saya sudah mengikuti saran dan arahan itu, tapi selama proses sidang tidak pernah ada perwakilan dari pemkab yang hadir, saya yang bolak-balik datang ke pengadilan seakan-akan tidak dihargai, padahal itu mengeluarkan biaya dan menyita waktu," katanya.

Mahdar menuding pemerintah tidak mempunyai komitmen menyelesaikan persoalan itu.

Alasannya, katanya, sampai sekarang belum ada payung hukum tetap. sehingga pemkab tidak mau   membayar ganti rugi, padahal, tanah itu sudah ditempati bangunan sekolah hampir 40 tahun secara gratis.

Dia mengaku memiliki bukti sah atas kepemilikan tanah miliknya. Sertifikat tanah sudah ada sejak 1973 dan sudah atas nama H. Mahdar. Oleh karena itu, dirinya berani menyegel sekolah itu dengan harapan tahun ini persoalan tersebut terselesaikan.

Penyegelan akan dibuka setelah ada kejelasan dari pemerintah mengenai status tanah tersebut.

Namun, jika pemkab tidak bisa menyelesaikan persoalan, pihaknya meminta supaya lahan itu dikosongkan. Pihaknya sudah jenuh menghadapi kasus tersebut.

"Ini tanah milik saya, sertifikatnya atas nama saya, masak bukti itu masih kurang kuat, sebenarnya saya tidak mau mengorbankan pendidikan anak-anak, tapi saya hanya minta ganti rugi," katanya.

Kuasa Hukum H. Mahdar, Bahtiar Pradinata, membenarkan bahwa kliennya pemilik sah tanah itu.

Bukti itu juga diperkuat dengan putusan Pengadilan Tingggi (PT) Surabaya Nomor 536/PDT/2018/PT.SBY Junto PN Sampang Nomor 2/Pdt.G/2018/PN.Spg.

"Sehingga, secara hukum saat ini tanah itu milik H. Mahdar. Kalau pemkab mengaku kasus ini belum ingkrah, silahkan itu hak pemkab, tapi sepanjang belum ada putusan yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi bahwa tanah itu milik H. Mahdar, tanah ini tetap milik Mahdar," katanya.

Alangkah baiknya, katanya, jika pemkab bisa memberikan solusi yang terbaik atas kasus itu.

 Baca juga: TNI ikut mengajar di SD perbatasan Papua
Baca juga: SD transmigrasi diresmikan Gubernur Aceh

 

Pewarta: Abd Aziz
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019