Saya kehilangan kaki saya dalam satu serangan udara oleh pasukan rejim Bashar al-Assad sewaktu saya sedang memperbaiki satu generator di Tadmur
Al-Bab, Suriah (ANTARA) -
Meskipun kehilangan satu kakinya akibat konflik yang berkecamuk di Suriah, ayah lima anak terus bertahan hidup untuk menafkahi keluarganya.

Ketika berbicara dengan wartawan Kantor Berita Anadolu di Kota Al-Bab di Suriah Utara, Rabeh Selim mengatakan, "Setelah saya kehilangan kaki saya, saya harus menemukan pekerjaan, proefesi yang dapat saya kerjakan dengan tangan saya untuk mengurus keluarga saya."

Ia memutuskan untuk memperbaiki televisi dan membuka kedai di kota itu.

Selim seorang insinyur listrik, bekerja di satu pembangkit listrik sebelum perang meletus. Ia dipaksa meninggalkan kota kelahirannya Tadmur (Palmyra kuno) di Provinsi Homs di Suriah Barat empat tahun lalu, katanya.

"Saya kehilangan kaki saya dalam satu serangan udara oleh pasukan rejim Bashar al-Assad sewaktu saya sedang memperbaiki satu generator di Tadmur," katanya.

Mulanya ia takut anak-anaknya akan memandang dia secara berbeda.

"Kenyataan bahwa saya kehilangan satu kaki membuat saya merasa lumpuh, anak-anak saya juga tak pernah memandang saya dengan cara yang berisi kepercayaan besar," kata Selim, sebagaimana dikutip Anadolu --yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu malam.

"Jika datang satu hari saat saya akan kehilangan tangan, saya masih akan menemukan sesuatu untuk saya kerjakan, saya akan tetap kuat sebab saya memiliki keluarga yang harus saya rawat," ia menambahkan.

Sebanyak 1,5 juta orang di Suriah sekarang tinggal dengan cacat permanen, termasuk 86.000 orang yang kehilangan anggota tubuh, kata PBB.

Ratusan ribu orang telah tewas dan lebih dari 10 juta orang kehilangan tempat tinggal, kata PBB, dalam konflik yang memporak-porandakan negeri itu sejak 2011, ketika Pemerintah Bashar menindas demonstran dengan kekuatan yang tak terjadi sebelumnya.

Hidup dalam perang

Selim mengatakan meninggalkan rumahnya dan ketidak-tentuan mengenai masa depan anak-anaknya masih menjadi keprihatinan utamanya.

"Perang itu mengerikan, bergelimang darah. Itu berakhir dengan kematian, air mata dan pengungsian paksa," katanya.

Perang telah merampas banyak anggota keluarga dan hartanya.

"Hari-hari terbaik saya adalah sebelum perang meletus. Kami aman dan bahagia, memiliki pekerjaan dan dapat pergi kemana saja kami mau," katanya.

Tiga anaknya dilahirkan sebelum perang meletus, katanya. Ia menyatakan ia dulu bisa melayani semua keperluan mereka. Dua anak lagi dilahirkan setelah 2011, ketika kondisi sulit telah melanda.

Ia mengatakan bahwa ketika sekolah dibuka lagi di Al-Babm anak-anaknya mulai bersekolah, tapi itu tidak cukup buat pendidikan mereka.

"Apa yang paling saya takutkan ialah masa depan anak-anak saya sebab tak ada keamanan," katanya.

"Saya tak mau tetap tinggal di Suriah, sebab istri saya dan saya dibesarkan dengan cara yang sangat indah oleh keluarga kami dan saya ingin membesarkan anak-anak saya dengan cara yang sama," katanya.

"Saya hidup hari ini untuk menyediakan masa depan, tapi saya tak bisa berfikir lebih jauh dari ini, kami tak mempunyai masa depan di Suriah," ia menambahkan.

Sumber: Anadolu Agency

Penerjemah: Chaidar Abdullah
Editor: Suharto
Copyright © ANTARA 2019