Palembang (ANTARA) - Massayu Anna Kumari atau akrab dipanggil Cek Anna dikenal luas sebagai pelestari tradisi berbagai macam kesenian seperti tari, teater, musik, seni suara dan puisi, semuanya terus ia pertahankan walau usianya sudah 73 tahun.

Anna Kumari memiliki komitmen tinggi terhadap pelestarian seni budaya Palembang, banyak kalangan sepakat menyebutnya sebagai palang pintu terakhir penjaga seni budaya terakhir di kota pempek.

Ia lahir di Kota Palembang pada 10 November 1945, keluarganya pada saat itu termasuk kalangan pejuang kemerdekaan yang memegang teguh prinsip adat. Sewaktu kecil Anna Kumari sering diajak orang tuanya menghadiri pernikahan adat Palembang asli, sehingga secara alamiah tumbuh kecintaannya terhadap budaya.

Sejak kecil Anna sudah tertarik dengan berbagai tradisi adat Palembang, namun persentuhannya dengan seni secara profesional baru dimulai pada 1960-an saat ia bersama orang tuanya tinggal di Jakarta.

Pada 1962 saat berusia 17 tahun, ia menjadi penari Istana Negara, namun selama menjadi penari istana ia mengaku tidak pernah membawakan tari Sumatera Selatan, melainkan tari Bali seperti Tari Kecak, Tari Panji Semorang dan Tari Pendet dengan dilatih langsung oleh Nyoman Suwarni serta I Wayan Linggih,

"Presiden Soekarno sering melihat kami latihan waktu itu," kenang Anna Kumari.


Tari Tepak Keraton

Saat kembali ke Palembang, Anna diminta menjadi pimpinan grup seni Kodam II Sriwijaya yang beranggotakan 30 orang, waktu itu Komandan Inmindam IV Sriwijaya Kolonel Makmun Rasjid meminta Anna menciptakan tarian baru.

Dengan alasan politik, Tari Gending Sriwijaya yang saat itu sudah populer tiba-tiba dilarang untuk ditampilkan, tak habis akal kemudian Anna menciptakan Tari Tepak Keraton sebagai pengganti Tari Gending Sriwijaya.

Tari Tepak Keraton diciptakan untuk menggambarkan Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam masa pimpinan Mahmud Badaruddin II sekitar abad ke-16, puncak kepopuleran tari tersebut saat ditampilkan pada pembukaan MTQ Internasional Tahun 2015 di Palembang.

Tahun 1967 ia mendirikan Sanggar Tari Anna Kumari dengan mencari sendiri penari dari rumah ke rumah agar bersedia berlatih tari di sanggarnya, namun hal tersebut tidaklah mudah.

Banyak orangtua tidak memperbolehkan anak perempuan berlatih menari karena khawatir si anak menjadi ronggeng, akhirnya dengan keteguhan yang mantap dan semangat kebudayaan Anna berhasil menggaet anak-anak dari kalangan bangsawan dan pejabat menjadi penari binaannya.

Semangat mengembangkan kesenian lokal yang penuh liku-liku membuahkan hasil manis, sanggarnya sudah berkeliling di berbagai wilayah di Indonesia bahkan dunia, sampai akhirnya pada 2015 Kementerian Kebudayaan mengganjarnya dengan Penghargaan kategori Pelestari.

Tidak hanya sebatas itu, sudah puluhan penghargaan di bidang seni budaya yang ia terima sepanjang hidupnya dari berbagai instansi, perusahaan dan asosiasi, selain menari ia juga menulis ragam buku adat, seperti Perkawinan 7 hari 7 Malam dan Buku Rebo Akhir Tradisi Budaya Palembang.


Semangat mewarisi tradisi

Setidaknya Anna telah menciptakan 50 jenis tarian selama hidupnya, menulis buku-buku kebudayaan, dan menjadi pembicara dalam berbagai forum.

Sampai saat ini Anna Kumari masih aktif pada beberapa kegiatan kebudayaan, setiap tahun ia selalu melaksanakan tradisi Palembang yang kian langka, misalnya tradisi tepung tawar tolak bala, rebo akhir/rebo kasan dan bekela.

Anna merasa bertanggung jawab mewarisi semua pengetahuannya mengenai sejarah dan kebudayaan Kota Palembang, menurutnya kebudayaan Palembang memuat kearifan sosial kultur yang harus dipahami generasi penerus.

"Saya mendapatkan tradisi itu dari nenek-nenek saya dan saya merasa bertanggung jawab meneruskannya pula," kata Anna.*


Baca juga: Kurator: minat perempuan pada seni patung sedikit

 

Pewarta: Aziz Munajar
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019