Jakarta (ANTARA) - Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan mencatat arus pendek listrik (korsleting) menjadi penyebab terbanyak kasus kebakaran dalam kurun beberapa tahun ini.

"Sekitar 60-70 persen kasus kebakaran penyebabnya karena faktor listrik, korsleting," kata Kepala Seksi Perencana Teknis dan Kerja Sama Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta Sri Muji Rahayu di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan DKI Jakarta, untuk 2019 hingga 16 Mei sudah terjadi setidaknya 583 kasus kebakaran di wilayah tersebut.

Dari 583 kasus kebakaran itu, sebanyak 428 kasus disebabkan korsleting listrik, 61 kasus karena elpiji, 21 kasus karena membakar sampah, 14 kasus karena rokok, dua kasus karena lilin dan selebihnya penyebab lain.

Dibandingkan data 2018, tercatat sebanyak 1.748 kasus kebakaran, terdiri atas 1.055 kasus disebabkan listrik, 180 kasus karena gas, 247 kasus karena membakar sampah, 75 kasus karena rokok, enam kasus karena lilin, dan sisanya penyebab lain.

Sri mengakui korsleting listrik memang menjadi penyebab terbanyak kasus kebakaran karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemasangan instalasi secara aman.

"Misalnya, menggunakan kabel yang tidak terstandar, instalasi listriknya numpuk-numpuk, dan sebagainya. Kan sangat berbahaya," katanya.

Ia mengimbau masyarakat untuk menggunakan peralatan listrik yang sudah berstandar nasional Indonesia (SNI) dan memasang instalasi kelistrikan secara aman untuk mencegah terjadinya kebakaran.

Berbagai upaya, kata dia, terus dilakukan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan untuk menanggulangi kebakaran, salah satunya menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat.

"Sebagai upaya menurunkan bahaya kebakaran, kami lakukan pemberdayaan masyarakat dengan membentuk SKKL (sistem keselamatan kebakaran lingkungan)," katanya.

Ia menjelaskan SKKL beranggotakan Barisan Sukarela Kebakaran (Balakar) yang berbasis rukun wilayah (RW) yang diberikan pelatihan cara pemadaman api secara awal.

"Jadi, masyarakat diubah 'mindset'-nya. Kalau dulu ketika terjadi kebakaran teriak dan lari, sekarang teriak dan aksi. Apa yang harus dikerjakan? Jika ada alat pemadam api ringan (APAR), padamkan," katanya.

Jika tidak tersedia APAR, Sri mengatakan langkah pemadaman secara tradisional bisa dilakukan sebagai langkah awal dengan menggunakan karung goni, selimut atau handuk yang dibasahi air.

"Sosialisasi yang tidak berbasis anggaran juga kami lakukan, seperti di tingkat kelurahan dengan pengajian dan sebagainya. Kan tidak terbatas hari kerja dan hari libur," katanya.

Sebagai catatan, pada 2018 kasus kebakaran tertinggi di Jakarta Timur sebanyak 451 kasus, disusul Jakarta Selatan 413 kasus, Jakarta Barat 361 kasus, Jakarta Utara 283 kasus dan 240 kasus di Jakarta Pusat.

Untuk periode 16 Mei 2019, Jakarta Selatan sementara ini tertinggi dengan 165 kasus, disusul Jakarta Timur 141 kasus, Jakarta Barat 103 kasus, kemudian Jakarta Utara dan Pusat masing-masing 87 kasus.


Baca juga: Minamas Plantation siapkan strategi cegah kebakaran hutan dan lahan
Baca juga: Gudang Limbah Di Sukabumi Hangus Terbakar
Baca juga: Anies: Kebutuhan dasar korban kebakaran Kampung Bandan terpenuhi

 

Pewarta: Sri Muryono dan Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019