Bisa dibilang kenaikan tarif ojek daring saat ini justru semu akibat diakali menggunakan promosi berlebih yang tak diatur pemerintah
Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara menyatakan promosi berlebihan oleh operator ojek daring di kota kota besar seperti Jakarta, menyebabkan realisasi tarif baru seolah tidak berlaku atau semu.

"Artinya ada upaya agar kenaikan tarif pada masa uji coba tarif baru ojek daring ini lewat promosi sangat murah agar konsumen tak merasakan kenaikannya," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa, terkait dengan adanya desakan agar perlunya pemerintah membuat aturan promo tarif ojek daring agar iklim sehat antaroperator dalam bisnis ini tetap terjaga.

Sebelumnya, peneliti ekonomi Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero menilai pemerintah perlu membuat aturan promo tarif ojek daring agar iklim sehat antaroperator dalam bisnis ini tetap terjaga.

Penegasan keduanya terkait masih maraknya perang tarif promo oleh aplikator ojek daring, di kota kota besar seperti Jakarta, khususnya pada jam-jam sibuk, meski per Mei 2019 sudah ada tarif baru.

Oleh karena itu, Rumayya yang juga ekonom Universitas Airlangga Surabaya ini menyarankan agar pemerintah tidak salah membaca animo masyarakat terkait tarif baru ini karena bila praktik promo berlebihan ini berlanjut maka hal itu bisa jadi tarifnya lebih murah dibanding sebelumnya.

"Bisa dibilang kenaikan tarif ojek daring saat ini justru semu akibat diakali menggunakan promosi berlebih yang tak diatur pemerintah," katanya.

Berdasar skema tarif yang mengacu pada Keputusan Kementerian Perhubungan Nomor 348 Tahun 2019 soal Kenaikan Tarif Ojek Daring dan rata-rata jarak tempuh konsumen, seharusnya pengeluaran konsumen akan bertambah lebih besar. Rinciannya adalah sebesar Rp4.000-11.000 per hari di Zona I, Rp6.000-15.000 per hari di Zona II, dan Rp5.000-12.000 per hari di Zona III.

Menurut dia, jika tarif di lapangan benar-benar mencerminkan kenaikan tarif sesungguhnya, permintaan penggunaan ojek daring dipastikan akan tergerus signifikan dan berdampak negatif pada pendapatan mitra pengemudi.

Hal itu karena berdasarkan hasil penelitian RISED menunjukkan 75 persen konsumen ojek daring jelas-jelas menolak penerapan kenaikan tarif.

Sebanyak 47,6 persen kelompok konsumen hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan maksimal Rp4.000-5.000 per hari. Sisanya, sebesar 27,4 persen kelompok konsumen menyatakan tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

Hasil penelitian juga mencatat bahwa 75,2 persen konsumen ojek online berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah.

“Faktor tarif jelas menjadi pertimbangan utama bagi keputusan mereka untuk menggunakan moda transportasi ojek online atau tidak,” ujar Rumayya.

Keduanya, bersepakat bahwa jika promosi berlebihan itu dibiarkan tanpa aturan, maka hal itu berpotensi mengancam kelangsungan industri transportasi daring sendiri karena aplikator bermodal paling kuat akan melahap aplikator bermodal lebih kecil.

"Jika itu yang terjadi, monopoli akan terjadi dan ujung-ujungnya akan rugikan konsumen juga," katanya.

 

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019