Palu (ANTARA) - Dari 699 unit hunian sementara (huntara) yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk pengungsi korban bencana di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala, tinggal 13 unit yang saat ini masih dalam proses pembangunan.

"Sisanya ada huntara-huntara yang belum finishing misal belum dipasangi jendela atau pintu dan lain-lainnya," kata Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulawesi Tengah III, Ferdinand Kana Lo di Palu, Kamis.

Itulah yang menyebabkan masih banyak pengungsi korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang kehilangan harta bendan dan rumah sampai detik ini masih tinggal di tenda maupun selter pengungsian.

Dia menyebut saat ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditunjuk Kementerian PUPR dan kontraktor lokal yang mengerjakan proyek huntara-huntara secara subkontrak dari BUMN-BUMN yang ditunjuk tersebut terus berupaya untuk menyelesaikan pembangunan huntara tersebut.

Ke-699 unit huntara itu tersebar di 73 lokasi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala.

Ferdinand mengatakan estimasi anggaran pembangunan 699 unit huntara tersebut senilai Rp417 miliar. Namun angka itu belum mutlak bisa bertambah namun tidak menutup kemungkinan berkurang.

"Nanti BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) mereview ulang. Nanti diketahui nominal pastinya setelah BPKP mengaudit dan mereview ulang,"ucapnya.

Huntara-huntara yang telah selesai dibangun oleh BUMN dan kontraktor lokal tidak langsung sibayar oleh pemerintah. Ada mekanisme, proses dan persyaratan administrasi yang harus dilalui dan dipenuhi oleh BUMN dan kontraktor lokal tersebut.

Mengingat pembangunan 699 unit huntara itu menggunakan uang negara.

Hingga Rabu (7/5) 30 persen pengungsi bencana gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu masih tinggal dan hidup di selter-selter pengungsian.

Wali Kota Palu, Hidayat di Palu, Rabu, menjelaskan masih banyaknya pengungsi tinggal di selter disebabkan fasilitas umum dan vital di hunian sementara (huntara) baik yang dibangun oleh Non Government Organization (NGO) maupun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum terpasang dan tersedia.

"Permasalahannya listrik dan air bersih yang belum ada. Kebanyakan huntara atau hunian nyaman yang dibangun NGO," tambahnya.

Oleh sebab itu, dia menyatakan telah meminta kepada Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola selaku perwakilan pemerintah pusat di daerah agar secepatnya mengatasi persoalan itu.

"Terang kami (Pemerintah Kota Palu) tidak punya dana untuk membiayai pemasangan dan penyediaan listrik dan air bersih di sana," katanya.

Selain itu masih adanya pengungsi yang tinggal di selter atau tenda pengungsian, lanjutnya juga disebabkan belum siapnya lahan yang akan dimanfaatkan sebagai kawasan pembangunan huntara.

Sebagai contoh, pengungsi tsunami di Kelurahan Baru yang kini tinggal di selter-selter pengungsian di halaman Masjid Agung Darussalam Palu saat ini masih menunggu huntara yang akan dibangun di halaman Universitas Tadulaku di Kelurahan Lere.

"Di sana akan dibangun huntara bantuan dari Bank BRI. Padahal Bank BRI sempat akan menghentikan pembangunan huntara di sana karena laporan camat dan lurah kepada pihak Bank BRI bahwa tidak ada lahan," ucapnya.

Dia menyebut jumlah pengungsi bencana di Palu hingga saat ini tidak kurang dari 40 ribu jiwa.

Selain di halaman Masjid Agung Darusslam Palu, beberapa kawasan selter pengungsian di ibu kota Provinsi Sulteng itu masih ditinggali oleh pengungsi.

Di antaranya di kawasan pengungsian terpadu di Sport Center Kelurahan Balaroa, selter pengungsian bantuan Mercy Malaysia di Kelirahan Lere dan sekitar lapangan golf di Kelurahan Talise.

Pewarta: Muhammad Arshandi
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019