Bagi mereka, anak adalah milik orang tua yang dapat diperlakukan seenaknya, tanpa memikirkan hak anak itu sendiri, padahal anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga
Ternate (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengemukakan anak berhadapan hukum (ABH) perlu mendapatkan pendampingan agar terhindar dari diskriminasi, stigmatisasi, dikucilkan, atau bahkan diusir dari lingkungannya.

"Padahal ABH yang melakukan tindak pidana, antara lain penyalahgunaan minuman keras, narkoba, kekerasan seksual, tawuran, balapan liar, pornografi, dan terorisme merupakan anak korban dari pola asuh yang salah, kurangnya pembinaan dan pengawasan orang tua yang membutuhkan perlindungan khusus," kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan ABH dan Stigmatisasi Kementerian PPPA Hasan dalam Pelatihan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Peduli terhadap ABH di Kota Ternate, Rabu.

Ia mengatakan upaya perlindungan terhadap ABH tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pemerintah daerah dan semua unsur masyarakat, baik orang tua, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pemerhati anak, dunia usaha, dan bahkan media massa.

Hingga saat ini, katanya, masih banyak masyarakat kurang melindungi dan memberikan pengasuhan terbaik kepada anak sehingga mereka rentan berkonflik dengan hukum.

"Kurangnya kepedulian masyarakat, karena adanya persepsi yang salah akibat minimnya pemahaman terkait isu anak. Bagi mereka, anak adalah milik orang tua yang dapat diperlakukan seenaknya, tanpa memikirkan hak anak itu sendiri, padahal anak adalah titipan Tuhan yang harus kita jaga," ujarnya.

Pelatihan yang diselenggarakan Kementerian PPPA bersama Pemerintah Provinsi Maluku utara itu untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan kepedulian masyarakat yang tergabung dalam gerakan PATBM untuk melindungi serta mencegah anak agar tidak terlibat atau kembali melakukan tindak pidana serta memberikan pendampingan hukum bagi ABH di wilayah itu.

"Saya meminta kepada para aktivitis PATBM yang hadir saat ini, untuk lebih peduli dengan menciptakan lingkungan yang ramah anak, khususnya bagi anak pelaku, anak korban, anak saksi, dan anak dari pelaku terorisme yang terstigmatisasi. Selain melindungi anak menjadi korban tindak pidana, kita juga harus mencegah anak menjadi pelaku tindak pidana," kata Hasan.

Ia menegaskan masyarakat harus mendampingi ABH, mulai dari proses penyidikan hingga pemeriksaan pengadilan, dan memberikan penguatan kepada anak, menciptakan suasana kekeluargaan, melakukan pendekatan kepada aparat penegak hukum (APH), serta mengawasi dan memastikan APH bertugas sesuai dengan perundang-undangan.

"Saya meminta kepada para aktivis untuk memberikan pendampingan bagi ABH dalam proses penegakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Khususnya dalam upaya keadilan restoratif dan proses diversi, agar anak tidak kembali berkonflik dengan hukum, serta terlibat dalam upaya reintegrasi sosial untuk mengembalikan ABH agar kembali diterima dalam lingkungannya," katanya.

Asisten I Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Maluku Utara Hasbi Pora melalui sambutannya mewakili Gubernur Maluku Utara, menyampaikan bahwa anak pelaku kejahatan merupakan korban dari salah asuh orang tuanya.

Ia mengatakan ABH harus mendapatkan hak perlindungan hukum dan tetap dipenuhi hak tumbuh kembangnya.

Upaya pencegahan dan penanganan terhadap mereka, katanya, harus berakar dari masyarakat melalui aspek budaya dan psikososial yang berpengaruh.

Hasbi berharap, acara itu mendorong masyarakat makin sadar akan pentingnya peran keluarga dan masyarakat dalam perlindungan ABH.

"Dengan digelarnya acara ini, PATBM dapat menciptakan lingkungan yang peduli terhadap ABH dengan mencegah hal-hal yang memungkinkan anak terpengaruh dan melakukan perbuatan yang berhadapan hukum di lingkungannya," ujarnya.

Baca juga: KPPPA: Belum semua penegak hukum pahami Sistem Peradilan Pidana Anak
Baca juga: KPPPA siapkan permen perlindungan anak dari radikalisme-terorisme


 

Pewarta: Abdul Fatah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019