Lhasa, Tibet (ANTARA) - Menyusuri Pegunungan Himalaya dengan menggunakan kereta api cepat terasa agak berbeda, tak satu pun dari para penumpang yang bisa memejamkan mata.

Pegunungan salju bersela ngarai tak pernah putus menghiasi jendela kereta api super cepat yang merayap di jalur sepanjang hampir 450 kilometer dari Nyingchi ke Lhasa, dua kota utama di Daerah Otonomi Tibet.

Para penumpang menikmati perjalanan dengan menggunakan kereta api di wilayah barat daya dataran Tiongkok yang berbatasan dengan India, Bhutan, dan Nepal itu.

Bak Taman Safari, sekawanan yak yang berkerumun di padang nan menghijau di pinggir jalan kereta api benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi para penumpang kereta.

Binatang sejenis sapi liar yang berkulit hitam atau cokelat tersebut memang banyak dijumpai di dataran tinggi Tibet dan di sekitar Pegunungan Himalaya. Bentuknya lebih besar daripada kerbau, bertanduk, dan bulunya lebih tebal. Pantas, dagingnya lebih alot daripada daging sapi atau kerbau.

Di Nyingchi, yak dibiarkan berkeliaran di tengah jalan raya, sehingga sering kali pengguna jalan harus mengalah.

Kereta cepat jenis Fuxing Hao berwarna hijau daun dengan livery kuning berhenti agak lama di Stasiun Lhasa pada pukul 15.35 waktu setempat atau 14.35 WIB.

Penumpang yang keluar dari dua gerbong belakang mendapatkan sambutan tersendiri pada Kamis, 18 Mei 2023.

Satu per satu penumpang yang keluar dari kereta kelas 2 itu dikalungi selendang putih oleh pejabat pemerintahan lokal dan disambut tarian tradisional khas Tibet oleh anak-anak muda anggota sanggar seni setempat.

Selepas penyambutan singkat, para delegasi dari berbagai negara dengan latar belakang diplomat, jurnalis, dan akademisi itu langsung menuju mobil jemputan yang disiapkan di peron stasiun tanpa harus melalui areal parkir seperti penumpang pada umumnya.

Meskipun siang itu udara cerah, para delegasi masih merasakan sekumpulan gejala paru dan otak yang terjadi pada orang yang baru pertama kali berada di atas ketinggian ekstrem yang biasa dikenal dengan istilah high altitude illness (HAI).

Lhasa yang berada di atas ketinggian 3.650 meter dari permukaan laut membuat beberapa delegasi mengalami sakit kepala, linglung, dan sesak napas.

Pada malam harinya ada yang berhalusinasi dan fenomena itu merupakan suatu kewajaran karena bagian dari gejala HAI itu tadi.

Oleh karenanya tim dokter dan tenaga medis disiagakan 24 jam penuh di hotel tempat para delegasi menginap.

Demikian pula di setiap mobil juga dipasang tabung oksigen medis di samping telah disediakan pula berkaleng-kaleng personal oxygan spray atau oksigen semprotan. Para delegasi asing berpose di bangunan tertinggi Istana Potala yang dikenal sebagai ikon Kota Lasha, Daerah Otonomi Tibet, China, Sabtu (20/5/2023). ANTARA/M. Irfan Ilmie
Saka Dawa

Dua hari dianggap sudah cukup bagi para delegasi untuk melakukan aklimatisasi atau penyesuai diri dengan iklim atau lingkungan tertentu selama berada di ibu kota Daerah Otonomi Tibet.

Meskipun sehari sebelumnya melakukan aktivitas kunjungan ke beberapa tempat, para delegasi terlihat bugar pada Sabtu (20/5) pagi.

Bahkan, ketika sampai di alun-alun depan Isata Potala, tak banyak yang menunjukkan wajah kelelahan, seperti pada saat hari pertama di Lhasa.

Pada hari kelima di Tibet itulah, para delegasi mendapatkan kesempatan mengunjungi Istana Potala.

Pagi itu pintu depan dan pintu samping istana yang pertama kali dibangun Raja Tibet Songsten Gampo pada tahun 637 Masehi itu sudah dipadati ribuan pengunjung yang mengular dalam antrean.

Pada Sabtu pagi itu memang masyarakat lokal sedang merayakan Saka Dawa atau munculnya bintang Saga pada bulan keempat menurut sistem penanggalan Buddha Tibet.

Kebanyakan dari para pengunjung yang memang warga lokal itu ingin melakukan persembahyangan di Istana Potala selama perayaan Saka Dawa atau Saga Dawa yang berlangsung hingga 4 Juni 2023 itu.

Selama perayaan tersebut berlangsung, umat Buddha Tibet dianjurkan bersedekah, menahan diri tidak membunuh binatang atau mengonsumsi dagingnya, dan melepaskan hewan yang ditangkapnya ke habitat alami.
"Ayo segera naik. Kita akan menuju Istana," kata Puntsok Tashi, seorang pemandu para delegasi, memberikan komando.

Konvoi mobil van meninggalkan alun-alun, melalui jalan protokol, lalu belok kanan sampai pada sebuah areal pemberhentian kendaraan bermotor.

Dari tempat parkir kendaraan VIP itu, para delegasi berjalan kaki sekitar 300 meter.

Setelah mendengarkan arahan singkat dari pemandu, seorang pengelola Istana Potala membukakan pintu bagian belakang.

Di belakang istana yang terdiri dari 1.000 unit kamar tersebut suasananya benar-benar sepi. Angin sepoi-sepoi menambah ketenangan suasana.

Dari pintu belakang, para delegasi menapaki tangga yang tersusun rapi dari bebatuan cadas sampai menuju pelataran.

"Bagi yang ingin ke toilet, silakan. Di atas sudah tidak ada lagi toilet," kata seorang pemandu lainnya, sambil menunjuk salah satu sudut pelataran tempat kamar kecil berada.

Pelataran tersebut lebih pantas disebut sebagai pos pemberhentian pertama karena selain toilet, terdapat beberapa lapak pedagang makanan dan minuman.

Kerumunan pengunjung terlihat meskipun tidak se-membeludak di beberapa gerbang utama Istana.

Selain tersaring oleh tiket, pengunjung Istana Potala yang tingginya mencapai 400 meter itu juga mulai banyak yang kelelahan karena sejak dari pintu masuk mereka sudah menaiki tangga demi tangga.

Kekuatan fisik memang dibutuhkan agar bisa tuntas membezuk Istana Potala yang secara keseluruhan terdiri dari 13 lantai. Faktor ketinggian bangunan yang berdiri di atas ketinggian lebih dari 3.500 meter dari permukaan laut itu juga turut membuat daya tahan fisik kedodoran karena semakin tinggi permukaan bumi maka semakin menipis pula kadar oksigen.

Oksigen semprot hanya berfungsi sebagai alat bantu pernapasan yang sifatnya sementara.

Untuk memasuki bangunan yang lebih kecil di lantai berikutnya, para pengunjung dilarang memotret, mengenakan penutup kepala, dan memakai kaca mata hitam. Larangan ini sudah disampaikan saat pengunjung masih berada di pelataran tadi.

Ada 10.000 tempat pemujaan dan 200.000 patung serta puluhan stupa kuno yang tersimpan di dalam bangunan setinggi 117 meter yang boleh dikunjungi masyarakat umum.

Namun benda-benda peninggalan kuno, sebagian besar di antaranya terbuat dari emas murni dilarang dipotret. Demikian pula dengan tempat persembahyangan dan tempat Dalai Lama dan Panchen Lama bertakhta tidak boleh diambil gambarnya, baik dengan menggunakan kamera maupun dengan telepon seluler.

Selain para biksu, petugas keamanan banyak disebar di bangunan utama Istana Potala, makanya jangan sampai ada yang coba-coba nekat motret.

Beberapa pengunjung melakukan persembahyangan. Beberapa tempat yang dianggap suci dan keramat banyak ditemukan uang kertas pecahan renminbi berserakan sebagai bentuk persembahan dari pengunjung, terutama yang berkeyakinan Buddha.
Sampailah pada suatu tempat yang sangat terbatas aksesnya, kecuali untuk tamu atau pengunjung yang dianggap khusus atau VIP.

Untuk menuju tempat itu, pengunjung harus menaiki beberapa tangga lagi yang terbuat dari kayu dengan kemiringan hampir 90 derajat, sehingga kehati-hatian harus ditingkatkan.

Tempat itu adalah puncak dari Istana Potala yang tidak semua orang bisa memasukinya.

Baca juga: Diplomat, media, dan akademisi asing kunjungi Tibet

Siang itu seantero Kota Lhasa terlihat jelas keelokannya bermandikan cahaya matahari.

Baca juga: Artikel - Membuka "Atap Dunia" dari sisi timur Himalaya

Tidak lah berlebihan Tibet menyandang julukan sebagai "Atap Dunia" karena berada di ketinggian di atas rata-rata.

Berdiri di atap Istana Potala serasa tangan ini hendak menyentuh atap langit yang birunya benar-benar jernih dan tak pernah memudar di sepanjang hari. 

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merambah singgasana Dalai Lama lewat pintu belakang Potala

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Bernadus Tokan
Copyright © ANTARA 2024