Jakarta (ANTARA) - Lautan penggemar yang memadati hari terakhir Indonesia Masters 2025 di Istora Senayan Jakarta terlihat kontras dengan langit terik yang berada di atas mereka.
Bendera Merah-Putih dan berbagai pernak-pernik dengan wajah Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan menghiasi beberapa bagian tubuh banyak orang — baik yang tua maupun muda — baik yang datang sendirian, maupun mereka dengan langkah-langkah kaki kecil di belakangnya.
Bahkan sebelum Hendra dan Ahsan tiba untuk mengucapkan selamat tinggal di hadapan para pecinta bulu tangkis pun, air terlihat sudah menggenang di tepi mata banyak orang. Tidak membutuhkan waktu lama bagi tangis itu untuk pecah ketika “The Daddies” berdiri di panggung terakhir mereka di Istora sebagai pemain profesional.
Perjalanan Hendra/Ahsan resmi berakhir setelah mereka kandas di babak 16 besar turnamen BWF Super 500, Kamis (23/1). Kala itu, mantan ganda putra peringkat satu dunia tersebut kalah di tangan pasangan muda Malaysia Junaidi Arif/Roy King Yap.
Kekalahan ini pun bukanlah sebuah kejutan bagi banyak orang, dan rasanya tidak ada penyesalan yang mengiringi, baik untuk pemain maupun penonton.
Perjalanan dan sederet prestasi papan atas dari Hendra/Ahsan yang sudah berpasangan selama lebih dari satu dekade, menutupi semua itu. Walaupun kandas di hadapan publik sendiri, mereka tetap menjadi protagonis yang begitu dicintai dari generasi ke generasi.
Bermula dan berakhir di Indonesia
Meskipun kemitraan mereka begitu ikonik, kedua pemain ini tidak langsung berpasangan. Dengan usia mereka yang terlampau tiga tahun, Hendra mengawali kiprahnya lebih dulu.
Hendra mengenang perjalanan pertamanya di turnamen bulu tangkis internasional dimulai di ibu kota. Awal 2000-an, kata dia. Sementara Ahsan, memulai kariernya pada Kejuaraan Bulu Tangkis Asia Junior pada 2005, yang saat itu juga digelar di Jakarta.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi keduanya untuk berprestasi dengan pasangan yang berbeda. Pada 2003, Hendra membuat debutnya bersama Markis Kido, yang berlangsung hampir satu dekade.
Dalam periode itu, keduanya telah mengoleksi gelar tertinggi dari berbagai turnamen bergengsi dunia, termasuk juara dunia pada 2007 dan Olimpiade Beijing satu tahun setelahnya.
Hendra dan Ahsan memang debut sebagai pasangan pada akhir tahun 2012, tapi keduanya sudah pernah berpasangan pada 2009 di semifinal Piala Sudirman. Ahsan menggantikan Kido yang saat itu mengalami cedera.
Setelah berpisah dengan Kido, Hendra dan Ahsan menjalani debut mereka sebagai pasangan pada Denmark Open 2012 dan finis sebagai semifinalis.
Satu tahun setelahnya, Hendra/Ahsan memenangkan titel pertama mereka sebagai pasangan pada Malaysia Open. Mereka kemudian mengoleksi gelar juara pada lima turnamen beruntun, diikuti dengan gelar juara dunia dan ganda putra nomor satu dunia pada tahun yang sama.
Duo itu semakin menunjukkan kualitas terbaik mereka pada tahun-tahun setelahnya, meskipun sempat juga dipecah. Mereka memenangkan medali emas Asian Games pada 2014, juara dunia pada 2015 dan 2019, hingga mengantarkan tim putra Indonesia membawa pulang Piala Thomas pada 2020.
Di tengah waktu yang terus berjalan dan usia yang terus bertambah, Hendra/Ahsan — yang kemudian dijuluki The Daddies — masih terus kompetitif menghadapi para pesaing lama dan baru.
Kerja keras dan konsistensi mereka mengantarkan keduanya lolos ke Olimpiade Tokyo 2020, menyusul junior mereka yang dominan saat itu, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dan menumbangkan junior mereka yang tengah naik daun, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.
Mereka melangkah hingga babak semifinal, tapi tidak dapat menuntaskannya dengan medali di Tokyo. “Kami berdua belum pernah dapat medali Olimpiade (bersama-sama). Sudah mencoba, tapi belum dikasih,” kata Hendra.
Meskipun tinggal selangkah lagi untuk meraih medali Olimpiade sebagai sebuah duo, Hendra/Ahsan tetap berkompetisi dan berprestasi di tahun-tahun berikutnya, termasuk menjadi runner-up All England 2022 dan 2023, serta runner up BWF World Tour Finals 2023.
Pada 2024, prestasi terbaik The Daddies adalah mencapai final Australia Open.
Kehadiran mereka di tahun-tahun ini pun menjadi warna yang begitu menghangatkan bagi dunia bulu tangkis. Kalau kata penggemar, di setiap era, selalu ada The Daddies.
Dan, pada awal tahun 2025 di Jakarta, era itu resmi berakhir.
Determinasi yang terus menginspirasi
Mengakhiri karier panjang mereka dengan kekalahan di rumah sendiri memang bukan sebuah happy ending yang ideal. Namun, Hendra dan Ahsan tetap berdiri dengan kepala tegak, hati yang lapang, dan cinta yang tak pernah habis — baik dari dan kepada penggemar, maupun dunia bulu tangkis itu sendiri.
Ucapan terima kasih yang kemudian diutarakan dari sang lakon utama di panggung, terbalas manis dengan hal yang sama oleh penonton, beriringan dengan tepuk tangan meriah dan isak tangis yang pecah.
Ribuan pasang mata yang memadati Istora itu sudah menyaksikan jatuh-bangun Hendra/Ahsan dari generasi ke generasi. Saat rival tersulit mereka masih Fu Hai Feng dan Lee Yong Dae, hingga kini menjadi Wang Chang serta Seo Seung Jae.
Ketangguhan The Daddies di dalam lapangan, dan kepribadian mereka yang rendah hati kepada lawan maupun kawan di luar pertandingan tak hanya menjadi apresiasi, akan tetapi juga inspirasi bagi atlet Indonesia dan dunia, bahkan calon-calon pengganti mereka di masa mendatang.
Seiring dengan langkah mereka yang kian menjauh dari panggung, hadir pula kekosongan yang ditinggalkan Hendra/Ahsan di skena tepok bulu.
Baca juga: Artikel - Menanti talenta-talenta baru bersemi
Warisan mereka tak sekadar rentetan trofi dan medali, melainkan inspirasi bagi atlet-atlet di masa yang telah, dan akan mereka lewati.
Baca juga: Artikel - Menunggu pembuktian Patrick Kluivert di bulan Maret
Di Istora, terpatri pula harapan bagi Indonesia untuk menciptakan atlet-atlet berprestasi lainnya, yang mungkin saja akan berawal di sini — tempat yang sama dengan sang legenda untuk memulai perjalanan panjangnya, dan mencatatkan sejarah yang abadi disegani dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Akhir manis perjalanan "The Daddies"