Jakarta (ANTARA) - Beberapa media massa memberitakan pidato politik Presiden Prabowo Subianto pada hari ulang tahun ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 15 Februari 2025.
Prabowo yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Gerindra melontarkan kata endhasmu, media massa menulis ndasmu, tanpa huruf e dan h. Ungkapan presiden itu ditujukan kepada para pengritiknya, berkaitan dengan, antara lain pembentukan kabinet yang gemuk dan program makan bergizi gratis (MBG).
Ungkapan endhasmu itu bukan kali pertama dilontarkan oleh Presiden Prabowo. Dalam Rakornas Partai Gerindra di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (15/12), Prabowo, saat itu calon presiden, juga melontarkan ungkapan yang sama (Antara, 17 Desember 2023).
Dalam proses komunikasi, kadang-kadang terdapat situasi yang menjengkelkan atau membuat hati marah.
Komunikator atau orang yang menyampaikan pesan akan menggunakan berbagai ungkapan untuk mengekspresikan kemarahan, kekesalan, atau kekecewaan terhadap suatu hal.
Dalam hal ini, Prabowo kesal terhadap para pengritiknya. Lantas apa maksud kata endhasmu dalam ungkapan itu? Kata endhasmu berasal dari bahasa Jawa dan bermakna kepalamu.
Bahasa Jawa mengenal unggah-ungguh yang terdiri atas tiga tingkatan, yakni ngoko, krama madya, dan krama inggil.
Kata endhasmu termasuk dalam tingkatan ngoko, lazim digunakan oleh komunikator kepada komunikan (penerima pesan) yang lebih rendah.
Pada umumnya, ketika kesal atau marah, penutur melontarkan ungkapan endhasmu dengan nada marah dan penekanan tertentu (aspek parabahasa).
Komunikasi nonverbal itu menjadi penting karena fungsinya sebagai aksentuasi atau penegasan pesan verbal. Tujuannya untuk memperkuat makna verbal. Selain itu komunikasi nonverbal dalam hal itu juga melengkapi serta memperkaya makna pesan verbal.
Penyampaian pesan
Komunikator yang menyampaikan pesan (dalam makian) tidak mungkin menggunakan kata pada tingkatan yang lebih tinggi, dalam hal ini krama inggil.
Pertama, kata makian merupakan kata-kata yang mempunyai nilai rasa rendah, menurut banyak masyarakat. Oleh karena itu, kata makian dalam bahasa Jawa menggunakan tingkatan rendah (ngoko).
Selan itu, pada umumnya kata makian, selain diucapkan untuk mengungkapkan emosi atau kemarahan, juga digunakan sebagai ungkapan kekecewaan.
Kedua, di lain sisi, krama inggil itu digunakan untuk menghormati orang lain yang lebih tua atau secara sosial ekonomi lebih tinggi.
Sementara itu, kata makian jelas bukan untuk menghormati orang lain, justru sebaliknya. Bandingkan dengan tingkat madya untuk ungkapan yang sama, yakni sirahmu yang maknanya juga kepalamu.
Meski sama-sama singkat dengan kata endhasmu, kata sirahmu tetap masih ada unsur penghormatan untuk komunikan dalam proses komunikasi.
Ketiga, pada umumnya, kata atau frasa untuk menghargai orang lain (krama inggil) lebih panjang, meski tidak semuanya demikian. Pada kasus ini, endhasmu akan berubah menjadi mustakanipun panjenengan (kepala Anda).
Frasa yang panjang terasa tidak efektif untuk memaki atau untuk mengungkapkan kemarahan/melampiaskan kekecewaan, terlepas dari rasa bahasa.
Endhasmu bukan satu-satunya kata makian dalam bahasa Jawa. Kata makian lain juga menggunakan anggota tubuh, yakni cangkemmu (mulutmu) dan matamu.
Keduanya juga menggunakan kata pada tingkatan ngoko. Kata mata (ngoko) berubah menjadi mripat (madya), dan soca (krama ingggil).
Demikian juga cangkem akan berubah menjadi tutuk (krama inggil). Meski sama-sama terdiri atas satu suku kata, tetap saja orang yang mengumpat atau memaki menggunakan level ngoko.
Menggunakan ungkapan ngoko untuk orang yang lebih dewasapun dianggap tidak beradab. Di sebuah institusi, hal itu pernah terjadi ketika pegawai yang umurnya lebih rendah melontarkan, “Ora usah kakehan cangkem,” kepada orang yang jauh lebih dewasa.
Ujaran itu memicu perseteruan berkepanjangan. Orang-orang tua juga menggunakan idiom plampang-plompomg kaya kepuh untuk mendeskripsikan mulut seorang anak yang hanya melongo ketika dinasihati orang tua.
Secara harfiah idiom itu bermakna melongo, seperti buah kepuh (Sterculia foetida) yang kini kian langka. Ketika tua, ujung buah tumbuhan anggota famili Malvaceae itu akan merekah (seperti mulut yang melongo), hingga tampak deretan biji buah kepuh.
Merujuk pada Andersson dan Hirsch (1985) dalam Rosidin (2010), ada tiga syarat agar suatu kata atau ungkapan dapat dikelompokkan sebagai kata makian.
Ketiga syarat itu adalah merujuk pada tabu atau stigma (tanda dari ketidakberterimaan sosial) di lingkungan budaya, tidak dapat ditafsirkan secara harfiah, dan dapat digunakan untuk mewujudkan emosi dan sikap yang kuat.
Menurut pakar semotika Roland Barthes, bahasa merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2003).
Pada prinsipnya semiotka mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai hal-hal (sesuatu). Memaknai berarti mengomunikasikan, objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi objek-objek itu juga berkomunikasi alias menyampaikan pesan.
Penggunaan anggota tubuh (mulut, mata, dan kepala) sejatinya menarik. Ketiganya ada di kepala atau tempat tertinggi. Di kepala juga terdapat otak untuk berpikir.
Namun, begitu ungkapan dilontarkan, justru merendahkan posisi komunikan. Menggunakan ketiga ungkapan (mata, endhas, dan cangkem) untuk umpatan saja dianggap merendahkan.
Apalagi jika umpatan atau makian itu menggunakan anggota tubuh yang lain, seperti organ genital. Itulah sebabnya kita harus mengingat petuah Jawa ini, ajining diri saka lathi, ajining salira saka busana.
Seseorang dihargai berdasarkan ucapannya atau perkataannya. Seseorang juga akan berharga jika penampilan atau busana yang rapi.
*) Dr. Sardi Duryatmo, MSi adalah dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Pakuan
Editor: Masuki M Astro
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memaknai ungkapan "endhasmu" dari Prabowo
Memaknai ungkapan endhasmu" dari Prabowo
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada sidang istimewa laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) 2024 di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/2/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wpa.)
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada sidang istimewa laporan tahunan Mahkamah Agung (MA) 2024 di Gedung MA, Jakarta, Rabu (19/2/2025). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wpa.)