Jakarta (ANTARA) - Dalam sejarah mafia Italia, pengiriman bangkai hewan merupakan cara ampuh untuk mengintimidasi dan menanamkan rasa takut kepada lawan. Film mafia legendaris The Godfather dalam salah satu adegannya menggunakan gaya teror ini, menggunakan kepala kuda sebagai simbol teror paling keras.
Layaknya mind games, ancaman simbolis dengan pengiriman bangkai hewan dimaksudkan untuk menanamkan ketakutan mendalam kepada lawan, tanpa perlu melakukan kekerasan fisik langsung.
Di Jakarta, beberapa waktu lalu Kantor Tempo juga menerima teror semacam ini. Kantor media tersebut mendapat kiriman potongan kepala babi dengan kuping terputus.
Kepala babi yang melambangkan kekerasan dan kejahatan digunakan untuk menunjukkan ketidaksukaan satu pihak kepada Tempo atau jurnalis media tersebut. Hingga kini, aparat keamanan belum menemukan pelaku teror tersebut.
Teror "kepala babi" juga sering terjadi di berbagai negara. Di Inggris, paket kepala babi dikirim saat malam Natal ke rumah ibadah umat Muslim di Leicester.
Peristiwa serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Kepala babi dilempar ke area masjid Komunitas Islam Al-Aqsa Philadelphia, setelah insiden penembakan San Bernardino, California, berujung meningkatnya kekhawatiran Islamofobia.
Sementara di Rusia, Alexei Venediktov, jurnalis senior yang juga mantan pemimpin redaksi stasiun radio independen Echo of Moscow diteror dengan kepala babi di depan apartemennya, disertai pesan "antisemit" dan simbol Ukraina.
Pandangan klasik
Teror dimaksudkan menebar ketakutan, dapat bermotif politik atau agama. Teror politik dimaksudkan untuk mengusik, bahkan menggulingkan pemerintahan yang sah. Sementara teror agama bertujuan memperluas sebaran agama, bahkan menghancurkan pengaruh agama lain. Lalu mengapa isu teror acapkali digiring seolah-olah berhubungan dengan pemerintah?
Antonio Gramsci, filsuf Italia, berpendapat pemerintah menjadi sasaran utama kasus teror, karena bertanggung jawab dalam kuasa dan dominasi kelas tertentu. Kebijakannya acapkali dicurigai dan mendapat tekanan dari berbagai sisi.
Michel Foucault, filsuf Prancis, berpendapat bahwa pemerintah merupakan sebuah "aparatus" atau perangkat yang mengontrol kekuasaan atas masyarakat. Jika ada kebijakan dirasa mengusik kepentingan tertentu, reaksinya bisa berbentuk teror.
Teror dianalogikan sebagai "mesin penebar ketakutan". Magnitudenya menimbulkan ketakutan melalui simbol kekerasan, intimidasi, dan propaganda.
Karena Tempo bukan institusi pemerintahan atau agama, patut diduga teror bukan bermotif agama atau politik. Kecuali Tempo memiliki afiliasi dengan kekuatan politik atau agama tertentu, dan sedang melakukan sebuah operasi tertentu.
Para ahli berpendapat bahwa teror dimungkinkan dilakukan pihak yang bersinggungan dengan Tempo. Bisa jadi kompetitor, lawan politik pemerintah, atau spekulan yang menyudutkan Tempo untuk memunculkan tindakan "kambing hitam".
Bagian ini mudah dibaca, siapa yang selama ini terusik oleh kebijakan pemerintah. Pihak yang sengaja ingin mengaduk-aduk suasana agar keruh. Lalu menggunakan Tempo, agar publik mengambinghitamkan pemerintah.
Guna mengurai "benang kusut" ini, aparat harus menemukan siapa pelaku teror Tempo, termasuk aktor di belakangnya.
Kambing hitam
Lazimnya teror, selalu didorong faktor ekonomi, sosial, agama, dan politik. Sementara pemerintah memegang kuasa mengendalikan keempat faktor untuk stabilitas dan kesejahteraan masyarakat. Wajar jika ada kebijakan yang dianggap merugikan, kemudian direspons dengan reaksi seperti itu.
Padahal tindakan ini justru mempersulit upaya pengungkapan aksi teror yang sebenarnya. Tindakan "mengambinghitamkan" dapat diartikan sebagai teror baru ke pemerintah dan harus ditindak tegas.
Sosiolog Émile Durkheim dalam "Scapegoat Theory" atau teori kambing hitam menyatakan bahwa kambing hitam merupakan tindakan mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya, akibat disinformasi, analisa tidak akurat, keterlibatan emosi yang kuat, pengaruh media massa, terutama media sosial, dan kondisi sosial ekonomi tidak stabil.
Dalam hal ini pemerintah harus "wise", dengan mengembalikan setiap kasus ke konteks hukum dan regulasi yang berlaku. Bukan direspons secara "konfrontatif", sehingga memicu spekulasi negatif.
Bagaimanapun, setiap pernyataan pejabat di lingkaran pemerintah, dipersepsikan mewakili institusi pemerintahan itu sendiri.
Strategi komunikasi
Menghadapi upaya "kambing hitam", pemerintah dapat menerapkan Strategi Komunikasi Massa atau "Mass Communication Strategy" dengan narasi tunggal melalui media massa. Konten diolah dari sumber data dan fakta, termasuk respon publik. Sikap terbuka, bersedia menerima umpan balik suara publik, penting sebagai upaya menyusun pemberitaan yang eligible.
Dalam kasus Tempo, pemerintah tegas dengan "mengutuk keras", minta aparat mengusut tuntas, seperti dikemukakan oleh Menkomdigi Meutya Hafid, saat itu. Sikap responsif itu cukup menenangkan publik, membangun sentimen positif, dan pemerintah dinilai tanggap terhadap isu yang mengganggu stabilitas.
Pakar komunikasi Harold Lasswell mendefinisikan model komunikasi pemerintahan dengan Government Public Relation (GPR), strategi komunikasi sistematis, melalui opini publik. Komunikasi efektif antara publik dengan pemerintah memudahkan mereka memahami isu-isu strategis dan program prioritas.
Ke depan perlu diperkokoh strategi komunikasi pemerintah berbasis publik. Government PR dapat dijalankan lebih konstruktif untuk memelihara relasi simetris antarpemangku kepentingan secara produktif.
Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK) sebagai juru bicara pemerintah, dapat "meredefinisikan" ulang model strategi komunikasi pemerintahan, bersandar pada analisis, transparansi, dan partisipasi publik untuk membangun citra positif.
Tidak boleh lagi ada pernyataan individual di ruang publik, tanpa kendali sistem. Setiap narasi harus dikaji melalui agenda setting bersama.
*) Dr Eko Wahyuanto, MM, dosen Sekolah Tinggi Multi Media (MMTC) Komdigi Yogyakarta
Editor: Masuki M Astro
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menghadapi upaya kambing hitam dalam teror kepala babi
Menghadapi upaya mengambinghitamkan dalam teror kepala babi


Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kanan) menyampaikan pernyataan sikap terkait tindakan intimidasi dengan peniriman kepala babi kepada wartawan Tempo di Jakarta, Jumat (21/3/2025). . ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/app/foc (ANTARA FOTO/FATHUL HABIB SHOLEH)
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (kanan) menyampaikan pernyataan sikap terkait tindakan intimidasi dengan peniriman kepala babi kepada wartawan Tempo di Jakarta, Jumat (21/3/2025). . ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/app/foc (ANTARA FOTO/FATHUL HABIB SHOLEH)