Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang, MSi menilai tuntutan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga terkait hasil Pilpres 2019 lebih bersifat invisible (tidak terlihat) dan keluar dari konteks.

"BPN mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengajukan tujuh tuntutan. Jika dicermati dari poin per poin, dari tuntutan tersebut ada yang invisible dan keluar dari konteks," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Kamis (30/5), terkait dengan tuntutan BPN ke MK.

Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno menggugat hasil Pilpres 2019 ke MK. Mereka mengajukan tujuh tuntutan ke MK, yakni pertama mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.

Kedua menyatakan batal dan tidak sah Keputusan KPU Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilu Presiden, Anggota DPRD, DPD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Nasional di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019.

Ketiga menyatakan capres-cawapres Joko Widodo dan KH Ma'ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan pemilu secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Keempat, membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Mar'uf Amin sebagai peserta Pilpres 2019.

Kelima, menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019-2024.

Baca juga: BPN Prabowo-Sandi tidak miliki bukti kecurangan

Keenam, memerintahkan kepada termohon (KPU) untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan H Prabowo Subianto dan H Sandiaga Salahudin Uno sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode tahun 2019-2024.

Ketujuh, memerintahkan Termohon (KPU-red) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22e ayat 1 UUD 1945.

Menurut Ahmad Atang, yang mesti dipahami adalah gugatan terkait sengketa pemilu, berarti berhubungan perolehan suara, sehingga yang disebut kecurangan adalah adanya penggelembungan suara karena adanya peralihan suara dari paslon 02 ke paslon 01 yang dibuktikan dengan C1.

Oleh karena itu, menurut Ahmad Atang, pasangan calon nomor urut 02 harus bisa membuktikan skenario kecurangan yang dituduhkan itu, bukan menyebarkan narasi-narasi yang sifatnya invisible.

Jika ini yang menjadi perhatiannya, kata dia, maka kewenangan MK untuk menyidangkannya, tetapi apa yang diajukan BPN tidak menyentuh substansi sengketa pemilu dan keluar dari konteks.

"Jika dilihat pada poin kedua tuntutan untuk mencabut keputusan KPU tentang penetapan hasil pemilu dan pilpres itu keluar dari konteks karena keputusan KPU pada 21 Mei tersebut masih sebatas rekapitulasi hasil pemilu dan pilpres," katanya.

KPU, kata dia, pada keputusan 21 Mei belum ada penetapan siapa pemenang karena paslon 02 masih melakukan gugatan. "Jadi konteks hasil rekapitulasi bukan penetapan pemenang. Sementara poin ketiga rumusnya mudah saja jika BPN memiliki bukti yang cukup. Inilah ruang pengadilan yang memutuskan," katanya.

Sedangkan poin empat hingga tujuh, menurut dia, tuntutan tersebut sangat invisible atau tidak terlihat karena tidak ada dasar sama sekali dan cenderung pemaksaan kehendak.

Baca juga: Ruang menguji kecurangan pemilu hanya melalui MK
Baca juga: Pengamat: Tak mungkin dilakukan pemilu ulang

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024