Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK) Dr Ahmad Atang mengatakan pembubaran partai koalisi belum perlu mengingat tujuan akhir dari koalisi antarpasangan calon belum menemukan titik akhir.
"Belum perlu, mengingat tujuan akhir dari koalisi antarpaslon belum menemukan titik akhir, mana yang kalah dan mana yang menang pilpres karena masih dalam proses hukum," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin (10/6).
Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik sebelumnya mengusulkan agar calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto segera membubarkan koalisi partai politik pendukungnya, yakni Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang terdiri atas Partai Gerindra, PKS, Berkarya dan Demokrat.
"Saya usul, Anda (Prabowo) segera bubarkan koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir," ujar Rachlan seperti dikutip dari akun Twitter-nya, @RachlandNashidik, Minggu (9/6/2019).
Ahmad Atang menjelaskan dalam sistem multipartai, koalisi merupakan suatu keharusan karena tidak ada partai yang menjadi single mayority atau mayoritas tunggal.
Menurut dia, koalisi diperlukan untuk memperkuat sistem pemerintahan sehingga dukungan politik partai koalisi tidak hanya sebatas sebagai pengusung maupun pendukung pasangan calon, namun ikut bertanggung jawab terhadap perjalanan pemerintahan.
"Karena itu, wacana tentang perlunya dibubarkan koalisi menurut saya harus dilihat dari kepentingannya, tetapi harus menunggu sampai selesainya proses hukum di MK," katanya.
Baca juga: Final Pilpres 2019: Jokowi 55,50 persen, Prabowo 44,50 persen
Dia menambahkan, dalam perebutan kekuasaan sudah menjadi hukumnya bahwa mesti ada yang kalah dan ada yang menang, maka kepentingan partai koalisi yang kalah tentu akan berakhir, namun bagi partai koalisi yang menang tentu akan mempertahankannya.
Karena itu, untuk saat ini pembubaran partai koalisi belum perlu mengingat tujuan akhir dari koalisi antarparpol belum menemukan titik akhir dimana yang kalah dan menang dalam pilpres masih dalam proses hukum.
Hal yang diperlukan saat ini adalah adanya fatsun politik antarkubu paslon agar suasana tidak gaduh menjelang sidang MK hingga sampai pada keputusan MK terhadap gugatan paslon 02.
Masing-masing kubu tentu saling menjaga soliditas untuk menghadapi situasi politik terburuk, maka koalisi diperlukan untuk menjadi moral politik. "Terbentuknya partai koalisi bukan atas keinginan orang perorangan, tetapi atas dasar kesadaran dan kesamaan kepentingan antarpartai," katanya.
Artinya, kata Ahmad Atang, bertahan atau tidaknya koalisi harus menjadi komitmen bersama dan bukan atas desakan dan keinginan pihak lain, bahwa pada akhirnya partai koalisi harus bubar karena kalah pilpres, maka hal itu merupakan konsekuensi dari politik.
Dan partai politik akan menentukan langkah politik ke depan, apakah akan merapat kepada partai pemenang pilpres atau tetap mengambil sikap menjadi oposan adalah pilihan yang mesti diambil, demikian Ahmad Atang.
Baca juga: Prabowo-Sandi tampaknya sulit menerima kekalahan
Baca juga: Prabowo tak akan mengakui kekalahan dalam Pilpres 2019
"Belum perlu, mengingat tujuan akhir dari koalisi antarpaslon belum menemukan titik akhir, mana yang kalah dan mana yang menang pilpres karena masih dalam proses hukum," kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Senin (10/6).
Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik sebelumnya mengusulkan agar calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto segera membubarkan koalisi partai politik pendukungnya, yakni Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang terdiri atas Partai Gerindra, PKS, Berkarya dan Demokrat.
"Saya usul, Anda (Prabowo) segera bubarkan koalisi dalam pertemuan resmi yang terakhir," ujar Rachlan seperti dikutip dari akun Twitter-nya, @RachlandNashidik, Minggu (9/6/2019).
Ahmad Atang menjelaskan dalam sistem multipartai, koalisi merupakan suatu keharusan karena tidak ada partai yang menjadi single mayority atau mayoritas tunggal.
Menurut dia, koalisi diperlukan untuk memperkuat sistem pemerintahan sehingga dukungan politik partai koalisi tidak hanya sebatas sebagai pengusung maupun pendukung pasangan calon, namun ikut bertanggung jawab terhadap perjalanan pemerintahan.
"Karena itu, wacana tentang perlunya dibubarkan koalisi menurut saya harus dilihat dari kepentingannya, tetapi harus menunggu sampai selesainya proses hukum di MK," katanya.
Baca juga: Final Pilpres 2019: Jokowi 55,50 persen, Prabowo 44,50 persen
Dia menambahkan, dalam perebutan kekuasaan sudah menjadi hukumnya bahwa mesti ada yang kalah dan ada yang menang, maka kepentingan partai koalisi yang kalah tentu akan berakhir, namun bagi partai koalisi yang menang tentu akan mempertahankannya.
Karena itu, untuk saat ini pembubaran partai koalisi belum perlu mengingat tujuan akhir dari koalisi antarparpol belum menemukan titik akhir dimana yang kalah dan menang dalam pilpres masih dalam proses hukum.
Hal yang diperlukan saat ini adalah adanya fatsun politik antarkubu paslon agar suasana tidak gaduh menjelang sidang MK hingga sampai pada keputusan MK terhadap gugatan paslon 02.
Masing-masing kubu tentu saling menjaga soliditas untuk menghadapi situasi politik terburuk, maka koalisi diperlukan untuk menjadi moral politik. "Terbentuknya partai koalisi bukan atas keinginan orang perorangan, tetapi atas dasar kesadaran dan kesamaan kepentingan antarpartai," katanya.
Artinya, kata Ahmad Atang, bertahan atau tidaknya koalisi harus menjadi komitmen bersama dan bukan atas desakan dan keinginan pihak lain, bahwa pada akhirnya partai koalisi harus bubar karena kalah pilpres, maka hal itu merupakan konsekuensi dari politik.
Dan partai politik akan menentukan langkah politik ke depan, apakah akan merapat kepada partai pemenang pilpres atau tetap mengambil sikap menjadi oposan adalah pilihan yang mesti diambil, demikian Ahmad Atang.
Baca juga: Prabowo-Sandi tampaknya sulit menerima kekalahan
Baca juga: Prabowo tak akan mengakui kekalahan dalam Pilpres 2019