Kupang (ANTARA) - Nafas kemerdekaan bangsa Indonesia yang kini terhirup segar di seantero Tanah Air tidak serta merta diperoleh dengan cara yang mudah. Jalan menuju kemerdekaan membutuhkan sebuah perjuangan yang panjang yang kemudian resmi diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.
Sejarah penjajahan di Indonesia dimulai sejak kedatangan bangsa Portugis di Selat Malaka yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque pada 1511, disusul pasukan Belanda yang mendarat di Banten dengan Cornelis de Houtman sebagai pemimpinnya pada tahun 1596 dan menduduki Indonesia selama sekitar 350 tahun, hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949.
Selain Portugis dan Belanda, sejumlah negara lain juga pernah mencicipi kekuasaan di Nusantara, yakni Spanyol, Inggris, Perancis, dan Jepang, namun di antara semua negara tersebut, kekuasaan Belanda dinilai yang paling lama bertengger di negeri ini.
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia menyisakan berbagai peninggalan fisik yang beberapa di antaranya masih kokoh berdiri, seperti gereja, gedung kantor, museum, tugu, monumen, hingga pemakaman.
Hegemoni kekuasaan Belanda di Indonesia sangat tampak dalam sejumlah jejak sejarah kolonial yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Nusantara, seperti juga di kawasan Kota Lama yang terletak di area terminal Kupang, Bonipoi, Merdeka, dan Kampung Solor, hingga Nunhila, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu sisa peninggalan Belanda di Kota Kupang adalah Situs Kuburan Belanda yang terletak di wilayah Kelurahan Nunhila, Kecamatan Alak, tak jauh dari Benteng Fort Concordia yang kini menjadi asrama bagi para prajurit TNI Angkatan Darat dari Yonif 743/Pradnya Samapta Yudha (PSY).
Puluhan makam kolonial yang dominan berbentuk tugu dengan prasasti berbahasa Belanda itu tegak berdiri di antara pemakaman umum modern lainnya.
Karel Nara Lulu, seorang tokoh masyarakat di Nunhila mengatakan bahwa pemakaman tersebut sudah ada sejak tahun 1800-an , dengan jumlah makam berkisar antara 60-70-an, karena tak ada data pasti yang tertera di arsip kelurahan setempat.
"Semuanya orang Belanda. Ada yang campuran juga, hasil kawin-mawin orang Belanda dengan orang Ambon, yang kemudian datang ke Kupang. Sayangnya tidak ada keturunan keluarga yang mengklaim bahwa itu adalah makam keluarga atau leluhur mereka” ujar Nara Lulu.
Situs kuburan Belanda di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi tanggung jawab siapa dalam perawatan. (ANTARA Foto/Katarina LB)
Sulit dirawat
Kondisi pemakaman tersebut boleh dibilang tidak terawat yang tampak dari terus memudarnya warna kuburan, kontras dengan puluhan makam baru lainnya yang terletak di lahan yang sama.
Ada lagi sejumlah prasasti yang malah tidak bisa terbaca lagi, hanya tampak deretan angka yang juga hampir hilang.
"Ada marmer prasasti makam yang dicuri orang. Entah siapa. Maklum, marmer zaman dulu kan harganya jauh lebih mahal,” tambah Nara Lulu.
Tepat di depan kompleks pemakaman, terdapat sebuah papan nama dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Kupang yang memberi kesan bahwa instansi pemerintah itulah sebagai pihak pengelola atau penanggung jawab atas situs tersebut.
Kepala Bidang Destinasi Wisata Dinas Pariwisata Kota Kupang, Jefry Adoe angkat bicara soal tata kelola situs pemakaman Belanda yang nyaris tidak terawat tersebut.
Menurut Jefry, salah satu kendala yang menghambat perawatan situs tersebut karena kuburan Belanda itu letaknya sudah berbaur dengan pekuburan umum milik masyarakat Nunhila.
“Mau dibuat pagar juga sulit, karena lokasinya berdesakan dengan pekuburan warga lokal lainnya di Kota Kupang, terutama dari Nunhila. Kondisi inilah yang membuat kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk merawat situs tersebut," katanya menambahkan.
Bukan hanya letaknya, Dinas Pariwisata juga tidak bisa seenaknya memugar puluhan makam tua itu tanpa sepengetahuan keluarga yang saat ini berada di negeri Belanda.
Meskipun demikian, pihak Kelurahan Nunhila juga meyayangkan sikap Dinas Pariwisata Kota Kupang yang terksesan acuh tak acuh terhadap area pemakaman kolonial yang ditengarai memiliki berpotensi wisata yang tinggi itu.
"Tahun 2010, mantan Lurah Nunhila, Pak Yuven Beribe pernah bersurat ke pihak Pemerintah Belanda menyangkut situs pemakaman Belanda tersebut," kata Lurah Nunhila Konstantin AGR Adam.
"Ada (perwakilan Belanda) yang sempat datang waktu itu. Mereka lihat-lihat dan foto-foto di sana, tapi kami tidak tahu langkah apa yang akan diambil selanjutnya,” tambah Lurah yang baru dilantik pada 14 Desember 2018.
Situs kuburan Belanda di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi tanggung jawab siapa dalam perawatan. (ANTARA Foto/Katarina LB)
Tidak tahu
Sebagai lurah yang belum lama dilantik, Konstantin mengaku tak banyak tahu soal sistem pengelolaan situs pemakaman Belanda di wilayah kerjanya itu, selain adanya aktivitas bersih-bersih bersama yang kerap dilakukan oleh kelompok pemuda dan masyarakat sekitar di area pemakaman.
"Tahun 2010 juga ada orang Korea Selatan yang ingin membeli pohon kamboja besar di kuburan itu. Sebagai gantinya, mereka akan memagari area pekuburan Belanda. Tapi masyarakat Nunhila tidak mau pada saat itu," ujarnya.
Pihak Kelurahan Nunhila berharap, situs pekuburan tua Belanda itu bisa segera tertata dengan rapi dan asri, karena memiliki nilai wisata yang bisa dijual kepada para wisatawan.
Konstantin mengatakan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Nunhila bisa mengelola situs kuburan Belanda itu menjadi objek wisata jika pemerintah Kota Kupang mengizinkan.
"Sayang, situs kuburan yang sarat makna itu jika tidak dikelola menjadi sebuah objek wisata. LPM Kelurahan Nunhila bisa mengatur dan mengawasi situs tersebut agar bisa menjadi objek penghasilan bagi kas kelurahan," katanya.
Sekarang nomenklatur di Kementerian Pariwisata sudah berubah. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak lagi menjadi satu sejak tahun 2017.
Dengan mengacu pada nomenklatur tersebut maka situs pekuburan Belanda itu tidak lagi berada di bawah tanggung jawab Dinas Pariwisata, melainkan Bidang Kebudayaan yang langsung diatur dari Denpasar, Bali.
Banyak situs sejarah peninggalan kolonial tersimpan di Kota Kupang, namun pemerintah hampir tidak pernah berpikir untuk mengelolanya menjadi objek wisata yang bisa mendatangkan penghasilan untuk mempertebal pundi kas daerah.
Situs kuburan Belanda di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi tanggung jawab siapa dalam perawatan. (ANTARA Foto/Katarina LB)
Sejarah penjajahan di Indonesia dimulai sejak kedatangan bangsa Portugis di Selat Malaka yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque pada 1511, disusul pasukan Belanda yang mendarat di Banten dengan Cornelis de Houtman sebagai pemimpinnya pada tahun 1596 dan menduduki Indonesia selama sekitar 350 tahun, hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 1949.
Selain Portugis dan Belanda, sejumlah negara lain juga pernah mencicipi kekuasaan di Nusantara, yakni Spanyol, Inggris, Perancis, dan Jepang, namun di antara semua negara tersebut, kekuasaan Belanda dinilai yang paling lama bertengger di negeri ini.
Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia menyisakan berbagai peninggalan fisik yang beberapa di antaranya masih kokoh berdiri, seperti gereja, gedung kantor, museum, tugu, monumen, hingga pemakaman.
Hegemoni kekuasaan Belanda di Indonesia sangat tampak dalam sejumlah jejak sejarah kolonial yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Nusantara, seperti juga di kawasan Kota Lama yang terletak di area terminal Kupang, Bonipoi, Merdeka, dan Kampung Solor, hingga Nunhila, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Salah satu sisa peninggalan Belanda di Kota Kupang adalah Situs Kuburan Belanda yang terletak di wilayah Kelurahan Nunhila, Kecamatan Alak, tak jauh dari Benteng Fort Concordia yang kini menjadi asrama bagi para prajurit TNI Angkatan Darat dari Yonif 743/Pradnya Samapta Yudha (PSY).
Puluhan makam kolonial yang dominan berbentuk tugu dengan prasasti berbahasa Belanda itu tegak berdiri di antara pemakaman umum modern lainnya.
Karel Nara Lulu, seorang tokoh masyarakat di Nunhila mengatakan bahwa pemakaman tersebut sudah ada sejak tahun 1800-an , dengan jumlah makam berkisar antara 60-70-an, karena tak ada data pasti yang tertera di arsip kelurahan setempat.
"Semuanya orang Belanda. Ada yang campuran juga, hasil kawin-mawin orang Belanda dengan orang Ambon, yang kemudian datang ke Kupang. Sayangnya tidak ada keturunan keluarga yang mengklaim bahwa itu adalah makam keluarga atau leluhur mereka” ujar Nara Lulu.
Kondisi pemakaman tersebut boleh dibilang tidak terawat yang tampak dari terus memudarnya warna kuburan, kontras dengan puluhan makam baru lainnya yang terletak di lahan yang sama.
Ada lagi sejumlah prasasti yang malah tidak bisa terbaca lagi, hanya tampak deretan angka yang juga hampir hilang.
"Ada marmer prasasti makam yang dicuri orang. Entah siapa. Maklum, marmer zaman dulu kan harganya jauh lebih mahal,” tambah Nara Lulu.
Tepat di depan kompleks pemakaman, terdapat sebuah papan nama dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Kupang yang memberi kesan bahwa instansi pemerintah itulah sebagai pihak pengelola atau penanggung jawab atas situs tersebut.
Kepala Bidang Destinasi Wisata Dinas Pariwisata Kota Kupang, Jefry Adoe angkat bicara soal tata kelola situs pemakaman Belanda yang nyaris tidak terawat tersebut.
Menurut Jefry, salah satu kendala yang menghambat perawatan situs tersebut karena kuburan Belanda itu letaknya sudah berbaur dengan pekuburan umum milik masyarakat Nunhila.
“Mau dibuat pagar juga sulit, karena lokasinya berdesakan dengan pekuburan warga lokal lainnya di Kota Kupang, terutama dari Nunhila. Kondisi inilah yang membuat kami tidak bisa melakukan apa-apa untuk merawat situs tersebut," katanya menambahkan.
Bukan hanya letaknya, Dinas Pariwisata juga tidak bisa seenaknya memugar puluhan makam tua itu tanpa sepengetahuan keluarga yang saat ini berada di negeri Belanda.
Meskipun demikian, pihak Kelurahan Nunhila juga meyayangkan sikap Dinas Pariwisata Kota Kupang yang terksesan acuh tak acuh terhadap area pemakaman kolonial yang ditengarai memiliki berpotensi wisata yang tinggi itu.
"Tahun 2010, mantan Lurah Nunhila, Pak Yuven Beribe pernah bersurat ke pihak Pemerintah Belanda menyangkut situs pemakaman Belanda tersebut," kata Lurah Nunhila Konstantin AGR Adam.
"Ada (perwakilan Belanda) yang sempat datang waktu itu. Mereka lihat-lihat dan foto-foto di sana, tapi kami tidak tahu langkah apa yang akan diambil selanjutnya,” tambah Lurah yang baru dilantik pada 14 Desember 2018.
Sebagai lurah yang belum lama dilantik, Konstantin mengaku tak banyak tahu soal sistem pengelolaan situs pemakaman Belanda di wilayah kerjanya itu, selain adanya aktivitas bersih-bersih bersama yang kerap dilakukan oleh kelompok pemuda dan masyarakat sekitar di area pemakaman.
"Tahun 2010 juga ada orang Korea Selatan yang ingin membeli pohon kamboja besar di kuburan itu. Sebagai gantinya, mereka akan memagari area pekuburan Belanda. Tapi masyarakat Nunhila tidak mau pada saat itu," ujarnya.
Pihak Kelurahan Nunhila berharap, situs pekuburan tua Belanda itu bisa segera tertata dengan rapi dan asri, karena memiliki nilai wisata yang bisa dijual kepada para wisatawan.
Konstantin mengatakan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Nunhila bisa mengelola situs kuburan Belanda itu menjadi objek wisata jika pemerintah Kota Kupang mengizinkan.
"Sayang, situs kuburan yang sarat makna itu jika tidak dikelola menjadi sebuah objek wisata. LPM Kelurahan Nunhila bisa mengatur dan mengawasi situs tersebut agar bisa menjadi objek penghasilan bagi kas kelurahan," katanya.
Sekarang nomenklatur di Kementerian Pariwisata sudah berubah. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak lagi menjadi satu sejak tahun 2017.
Dengan mengacu pada nomenklatur tersebut maka situs pekuburan Belanda itu tidak lagi berada di bawah tanggung jawab Dinas Pariwisata, melainkan Bidang Kebudayaan yang langsung diatur dari Denpasar, Bali.
Banyak situs sejarah peninggalan kolonial tersimpan di Kota Kupang, namun pemerintah hampir tidak pernah berpikir untuk mengelolanya menjadi objek wisata yang bisa mendatangkan penghasilan untuk mempertebal pundi kas daerah.