Kupang (ANTARA) - Bangsa Indonesia telah kembali merayakan kemerdekaannya ke-74 tahun pada 17 Agustus 2019 lalu, di bawah tema nasional SDM Unggul, Indonesia Maju.

Euforia perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia itu terasa dimana-mana, mulai dari pagelaran lomba olahraga, seni dan budaya, hingga lomba menghias gapura desa, mulai dari pelosok desa sampai ke Istana Negara.

Meski Indonesia sudah resmi memproklamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, tak berarti bahwa negeri ini benar-benar lepas dari jeratan kolonialisme dan imperaliasme pada saat itu.

Buktinya, setelah kemerdekaan, masih ada sejumlah pertempuran yang sengit berlangsung di sejumlah daerah, seperti peristiwa yang terjadi di Kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

Kota Surabaya yang juga dikenal dengan julukan Kota Pahlawan memang mencatat sejarahnya sendiri dengan peristiwa bersejarah tatkala para pemuda Surabaya melakukan aksi heroik, dengan merobek bendera warna biru milik Belanda (merah-putih-biru),  sehingga menjadi hanya Merah Putih, manakala bendera tersebut berkibar di Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit).

Aksi besar-besaran yang terjadi di Kota Surabaya tersebut merupakan perang pertama pasukan Indonesia melawan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang bermula dari tewasnya komandan pasukan Inggris, yang merupakan sekutu Belanda di Surabaya, yakni Brigadir AWS Mallaby pada akhir Oktober 1945.

Insiden di Hotel Yamato, ditambah tewasnya Mallaby, dan ultimatum yang dikeluarkan pihak Inggris melalui Mayor Jenderal Robert Mansergh yang meminta seluruh orang Indonesia yang bersenjata untuk meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan.

Selain itu, Mayor Jenderal Robert Mansergh juga meminta agar seluruh rakyat Indonesia yang bersenjata itu menyerahkan diri dengan mengangkat tangan, paling lama pada tanggal 10 November 1945, pukul 6 pagi. Kondisi inilah yang kemudian memicu terjadinya pertempuran.

Pertempuran di Surabaya yang memakan ribuan korban inilah yang kemudian menjadi penggerak perlawanan-perlawanan di daerah-daerah lainnya guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Atas dasar itu, pemerintah Indonesia melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Hari Pahlawan Pelajar menyaksikan aksi teatrikal peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Majapahit (dulu Hotel Yamato) di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/9/2019). Kegiatan tersebut untuk memperingati peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih pada 19 September 1945. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/pras).
Sejarah panjang bangsa Indonesia, dari zaman kerajaan kuno, hingga terjerat dalam masa penjajahan selama ratusan tahun, sampai meraih kemerdekaan memang tidaklah mudah.

Banyak nyawa yang melayang, banyak darah yang tertumpah, banyak hati yang tersakiti... Itulah harga yang harus dibayar oleh bangsa ini untuk sebuah kemerdekaan yang telah diraihnya pada 17 Agustus 1945.

Tahun ini, Indonesia kembali memperingati Hari Pahlawan dengan tema nasional "Aku Pahlawan Masa Kini" sebagaimana yang dijabarkan dalam Pedoman Pelaksanaan Peringatan Hari Pahlawam 2019 yang disusun oleh Panitia Pusat Peringatan Hari Pahlawan Tahun 2019, yang dibentuk melalui Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 101//HUK/2019.

74 tahun berlalu, kini zaman telah semakin berkembang dan mengalami pelbagai kemajuan dalam aspek kehidupan manusia, yang acap kali menimbulkan pergeseran atau perubahan pula, tak terkecuali soal makna 'pahlawan' masa kini di mata kaum milenial.

Andriani Anjasuma Putri, peraih gelar Mahasiswa Berprestasi Universitas Negeri Semarang tahun 2019 punya pemaknaan tersendiri tentang pahlawan.

"Bagi saya, pahlawan adalah mereka yang bisa menginspirasi orang lain dan membuat orang lain tergerak untuk melakukan sesuatu," ujarnya.

Sementara seorang mahasiswi Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang, Dwi Putri Indriyani memiliki jawaban lain. "Pahlawan adalah mereka yang memutuskan untuk memaafkan, meski ia punya ratusan kesempatan untuk balas dendam," katanya.

Kedua mahasiswi tersebut tidak banyak tahu tentang latar belakang Hari Pahlawan, selain penggalan ingatan soal pertempuran di Surabaya yang dipimpin oleh Bung Tomo dan kawan-kawan.

Insiden di Surabaya memang bukan hal baru bagi kaum milenial, sebab cerita pertempuran tersebut sudah diperkenalkan ke kalangan pelajar sejak masih di bangku Sekolah Dasar, terutama melalui mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

"Dulu pernah belajar di SD. Kalau tidak salah perlawanan arek-arek Surabaya yang merobek bendera Belanda kan? Di hotel apa ya namanya?,” kata Dwi Putri dalam nada tanya.

Dwi Putri Indriyani dan Andriani Anjasuma Putri tidak sendiri, tetapi Koordinator Komunitas Mata Kita NTT dan Ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HIMAPRO) Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana Kupang, Maria Goreti Ana Kaka, juga tidak tahu banyak soal peristiwa dahsyat di Surabaya itu.

Dalam pemahaman mereka dan kalangan milenial pada umumnya, pertempuran di Surabaya yang kemudian melahirkan Hari Pahlawan itu, hanya sebuah pertempuran berdarah untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diraih pada 17 Agustus 1945.

Meski demikian, Maria memaknai pahlawan tidak sebagai orang-orang yang sudah berjasa memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi juga orang-orang yang berjuang untuk isu publik dan kepentingan orang banyak, dan mereka yang berjuang tanpa tanda jasa.

Makna Pahlawan Veteran melakukan penghormatan pada bendera merah putih saat aksi teatrikal peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Majapahit (dulu Hotel Yamato) di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/9/2019). Kegiatan tersebut untuk memperingati peristiwa perobekan bendera Belanda menjadi merah putih pada 19 September 1945. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/pras).
"Pahlawan adalah bukti nyata bahwa negara kita masih memiliki orang-orang yang peduli pada kebaikan bersama," ungkap Maria.

Alfons Berto Turu, Duta Genre Provinsi NTT Jalur Masyarakat Tahun 2019 dan Juara II Putra Duta Bahasa Provinsi NTT Tahun 2019 memandang pahlawan sebagai mereka yang hanya hidup sekali namun abadi dalam karya memperjuangkan hidup banyak orang, dengan melahirkan perubahan, menciptakan keadilan, dan merubah wajah masa depan.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Tomson Sabungan Silalahi menyebutkan bahwa seorang pahlawan tak harus ditulis namanya dalam buku sejarah.

“(Pahlawan) tidak mesti harus ditulis namanya dalam buku sejarah. Intinya mereka berbuat tulus tanpa pamrih,” jelas Tomson sembari menambahkan dewasa ini, bangsa dan negara Indonesia memang sudah seratus persen bebas dari jeratan penjajahan dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme.

"Tak ada lagi satu pun bangsa asing yang menginjakkan kakinya di negeri ini, namun tidak berarti ketiadaan penjajah juga meniadakan para pahlawan," katanya.

Pada masa penjajahan, perjuangan para pahlawan adalah murni mengangkat senjata, namun pada saat ini, di tengah era globalisasi dan modernisasi, kehadiran para pahlawan tak lagi terbatas pada ranah pertempuran.

"Pahlawan bisa ada kapan saja dan dimana saja, dengan cara apa saja, tergantung bagaimana cara setiap orang memaknai pahlawan yang sesungguhnya," demikian Tomson Sabungan Silalahi. Pelajar menyaksikan aksi teatrikal peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Majapahit (dulu Hotel Yamato) di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/9/2019).. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/aww).

Pewarta : Katarina LB & Laurensius Molan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024