Kupang (Antara NTT) - Pengamat hukum internasional Dr Dhey Wego Tadeus, SH.MHum mengatakan sikap Pemerintah Indonesia sudah tepat yaitu mendesak adanya pembahasan di forum-forum internasional tentang perlucutan senjata nuklir dan senjata kimia.
"Sikap Indonesia tepat karena sesuai isi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada bagian Indonesia berkewajiban untuk turut menciptakan ketertiban dunia," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Dosen Hukum Internasional Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi desakan Pemerintah Indonesia agar ada pembahasan di forum-forum internasional tentang perlucutan senjata nuklir dan senjata kimia.
Pada Rabu Wakil Tetap RI di Wina 2012-2017, Rahmat Budiman mengatakan ada ketidakberimbangan dalam penerapan `NPT` (Non-Proliferation Treaty) sehingga Indonesia terus mendesak pembahasan di forum internasional tentang perlucutan senjata (nuklir)."
Pernyataan tersebut disampaikan Dubes Rahmat Budiman pada acara Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) 2017 bertema Nuklir: Ancaman dan Manfaat di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta.
Menurut Tadeus selain UUD 1945 sebagai payung hukum, sikap Indonesia juga didasarkan pada Undang-Undang No.8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir.
"Jadi posisi Indonesia terhadap isu senjata nuklir mengacu pada kedua undang-undang tersebut," kata dosen hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu.
Sikap Indonesia terhadap persenjataan nuklir itu juga sesuai dengan pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan bahwa kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB itu.
Penyelesaian sengketa secara damai ini, katanya, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, di antaranya Negosiasi, Enquiry atau penyelidikan, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase Judicial Settlement atau Pengadilan internasional, serta melalui organisasi-organisasi atau Badan-badan regional lainnya yang berkompeten.
"Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik," katanya.
Penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi enquiry, mediasi dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai.
Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional) tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya.
PBB kata dia tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
Dalam konteks nasional ia mengatakan pemanfaatan nuklir di suatu negara harus diiringi dengan adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) agar nuklir digunakan hanya untuk maksud damai, seperti dikatakan Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono.
"Nuklir hanya bisa bermanfaat selama ada good governance. Karena nuklir itu bisa menjadi potensi sebagai senjata pemusnah massal maka harus ada kontrol yang baik dari rakyatnya sendiri," ujar Siswo Pramono pada forum FKKLN yang sama di Jakarta.
"Sikap Indonesia tepat karena sesuai isi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada bagian Indonesia berkewajiban untuk turut menciptakan ketertiban dunia," katanya kepada Antara di Kupang, Jumat.
Dosen Hukum Internasional Universitas Nusa Cendana Kupang itu mengatakan hal itu menanggapi desakan Pemerintah Indonesia agar ada pembahasan di forum-forum internasional tentang perlucutan senjata nuklir dan senjata kimia.
Pada Rabu Wakil Tetap RI di Wina 2012-2017, Rahmat Budiman mengatakan ada ketidakberimbangan dalam penerapan `NPT` (Non-Proliferation Treaty) sehingga Indonesia terus mendesak pembahasan di forum internasional tentang perlucutan senjata (nuklir)."
Pernyataan tersebut disampaikan Dubes Rahmat Budiman pada acara Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN) 2017 bertema Nuklir: Ancaman dan Manfaat di Ruang Nusantara, Kementerian Luar Negeri RI di Jakarta.
Menurut Tadeus selain UUD 1945 sebagai payung hukum, sikap Indonesia juga didasarkan pada Undang-Undang No.8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata Nuklir.
"Jadi posisi Indonesia terhadap isu senjata nuklir mengacu pada kedua undang-undang tersebut," kata dosen hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang itu.
Sikap Indonesia terhadap persenjataan nuklir itu juga sesuai dengan pasal 1 Piagam PBB yang menyatakan bahwa kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam PBB itu.
Penyelesaian sengketa secara damai ini, katanya, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, di antaranya Negosiasi, Enquiry atau penyelidikan, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase Judicial Settlement atau Pengadilan internasional, serta melalui organisasi-organisasi atau Badan-badan regional lainnya yang berkompeten.
"Dari tujuh penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik," katanya.
Penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi enquiry, mediasi dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai.
Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional) tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya.
PBB kata dia tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
Dalam konteks nasional ia mengatakan pemanfaatan nuklir di suatu negara harus diiringi dengan adanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) agar nuklir digunakan hanya untuk maksud damai, seperti dikatakan Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono.
"Nuklir hanya bisa bermanfaat selama ada good governance. Karena nuklir itu bisa menjadi potensi sebagai senjata pemusnah massal maka harus ada kontrol yang baik dari rakyatnya sendiri," ujar Siswo Pramono pada forum FKKLN yang sama di Jakarta.