Kupang (Antara NTT) - Pengamat hukum tata negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Johanes Tubahelan MHum berpendapat penetapan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) sama sekali tidak membatasi orang menjadi calon presiden (Capres).

"Sebuah undang-undang berlaku untuk umum. Calon presiden tidak dibatasi oleh ambang batas karena mereka akan mengikuti seleksi di partai politik lalu ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk dipilih oleh rakyat," katanya kepada Antara di Kupang, Kamis.

Dia mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan seputar kemungkinan kebijakan ambang batas pencalonan presiden hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, serta mengurangi pencalonan presiden sehingga pada saatnya nanti bisa didapatkan dua atau tiga kandidat yang maju dalam arena Pilpres.

DPR telah menyetujui RUU Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU, meski banyak menuai kontroversi yang tampak dari adanya aksi Walk Out (WO) sebagian anggota parlemen pada saat pengesahan.

Dalam UU Penyelenggaraan Pemilu yang baru disahkan, syarat Presidential Threshold sebesar 20 persen dari total jumlah kursi di parlemen dan 25 persen dari total jumlah suara sah.

Namun, masih banyak juga yang menilai penetapan ambang batas pencalonan presiden hanya memberi ruang kepada Presiden Joko Widodo untuk langgeng dicalonkan kembali menjadi presiden dengan mengebiri kandidat lain untuk maju dalam Pilpres mendatang.

Menurut Tubahelan, penilaian bahwa adanya ambang batas sebagai bagian dari upaya membatasi dan mengebiri kandidat lain sama sekali tidak beralasan, karena UU memberi ruang seluas-luasnya kepada seluruh rakyat bangsa ini untuk mencalonkan diri.

Ia mengatakan semua orang boleh mencalonkan diri menjadi presiden dengan wajib mengikuti proses seleksi di partai politik.

Bahwa kemudian, dalam proses seleksi di partai politik ternyata Anda tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai calon presiden, maka itu bukan kesalahan UU.

"Jadi saya ingin menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden merupakan bagian dari UU Penyelenggaraan Pemilu dan berlaku untuk seluruh warga bangsa ini tanpa kecuali," katanya.

Karena itu, tambah mantan Ketua Ombudsman RI Pewakilan NTT-NTB itu, jangan membangun argumentasi untuk membenarkan diri dan kepentingan kelompok dan mempersalahkan UU.

Mengenai adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dia mengatakan, ambang batas pencalonan presiden sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Kalau ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi, maka MK tidak perlu menggunakan putusan terdahulu tetapi cukup menyatakan bahwa ambang batas tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan belum berubah sampai sekarang," katanya menegaskan.

Dia menambahkan pada pemilu presiden dan wakil presiden sebelumnya juga sudah menggunakan ambang batas perolehan kursi di parlemen dan jumlah suara sah sebagai syarat untuk mengajukan calon presiden.

Bahkan ambang batas perolehan kursi di parlemen dan suara sah juga sampai saat ini masih diterapkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan tidak pernah dipersoalkan.

"Kenapa ambang batas untuk pemilu presiden dan wakil presiden malah dipersoalkan. Ada apa?" kata Tubahelan dalam nada tanya. 

Pewarta : Bernadus Tokan
Editor : Laurensius Molan
Copyright © ANTARA 2024